Senja masih membayang ketika kulangkahkan kakiku menuju bandara. Dengan lunglai, aku memaksa diriku untuk melupakan hari-hari yang biasa kulewati bersama sahabat karibku, menjejali perasaanku dengan segala alasan yang kubuat-buat. Ini demi kebaikanmu, demi pendidikanmu, prestasimu, karirmu. Umurmu masih panjang, banyak kesempatan yang bisa kauraih. Bukan di Jakarta. Bukan juga di Tangerang. Masih ada Medan yang mau menerimamu kembali, menerima buah hatinya. Di Medan, kamu akan dekat dengan orangtuamu. Dekat dengan keluarga.
Aku merasa sakit untuk membohongi diriku sendiri, sakit untuk berpisah dengan Tangerang yang sudah akrab denganku. Perpisahan ini, akankah bertahan untuk selamanya? Semua gundahku, resahku, serta kenangan memenuhi kepalaku.
Makin senja membiaskan rona matahari, aku semakin tak tentu. Kebimbangan hatiku menahan langkahku. Tetapi, di pintu check-in jeritan nenekku sudah memanggil. Akhirnya dengan segala kecewaku, aku membutakan perasaanku. Aku pulang ke Medan. Aku pulang.
Ketika pesawat lepas landas, aku menangis sendirian. Tanpa air mata, tanpa suara. Kukeluarkan semua bebanku. Di sebelahku, nenek hanya bisa menatapku keheranan. Ia tidak pernah mengerti bagaimana aku ingin selalu bersama dengan sahabatku. Ia hanya tahu bahwa aku harus sekolah, sekolah, dan sekolah. Tidak ada yang lain. Aku sendiri memang ingin meneruskan sekolahku sampai menjadi dokter. Tapi bukan dengan paksaan nenek. Aku ingin mandiri. Dengan perasaan tertekanku, aku akhirnya tertidur. Aku bermimpi keberangkatanku dibatalkan.