Wednesday, June 8, 2011

Rio (sebuah cerpen) - untuk Mego Darma Pario

Senja masih membayang ketika kulangkahkan kakiku menuju bandara. Dengan lunglai, aku memaksa diriku untuk melupakan hari-hari yang biasa kulewati bersama sahabat karibku, menjejali perasaanku dengan segala alasan yang kubuat-buat. Ini demi kebaikanmu, demi pendidikanmu, prestasimu, karirmu. Umurmu masih panjang, banyak kesempatan yang bisa kauraih. Bukan di Jakarta. Bukan juga di Tangerang. Masih ada Medan yang mau menerimamu kembali, menerima buah hatinya. Di Medan, kamu akan dekat dengan orangtuamu. Dekat dengan keluarga.

Aku merasa sakit untuk membohongi diriku sendiri, sakit untuk berpisah dengan Tangerang yang sudah akrab denganku. Perpisahan ini, akankah bertahan untuk selamanya? Semua gundahku, resahku, serta kenangan memenuhi kepalaku.

Makin senja membiaskan rona matahari, aku semakin tak tentu. Kebimbangan hatiku menahan langkahku. Tetapi, di pintu check-in jeritan nenekku sudah memanggil. Akhirnya dengan segala kecewaku, aku membutakan perasaanku. Aku pulang ke Medan. Aku pulang.

Ketika pesawat lepas landas, aku menangis sendirian. Tanpa air mata, tanpa suara. Kukeluarkan semua bebanku. Di sebelahku, nenek hanya bisa menatapku keheranan. Ia tidak pernah mengerti bagaimana aku ingin selalu bersama dengan sahabatku. Ia hanya tahu bahwa aku harus sekolah, sekolah, dan sekolah. Tidak ada yang lain. Aku sendiri memang ingin meneruskan sekolahku sampai menjadi dokter. Tapi bukan dengan paksaan nenek. Aku ingin mandiri. Dengan perasaan tertekanku, aku akhirnya tertidur. Aku bermimpi keberangkatanku dibatalkan.



Setelah melewati dua jam penerbangan yang melelahkan, nenek membangunkanku. Dalam keadaan gamang, aku berjalan sempoyongan. Nenek malu melihat gaya berjalanku. Kemudian, dengan kasar ia menarikku lalu menggandeng tanganku erat-erat. Seperti anak kecil yang rapuh atau seperti orang tua pesakitan.

Dari sisiku, aku malu mempunyai nenek seperti ini. Nenek yang tidak pernah mau memandang seseorang sama derajatnya. Bahwa suku, ras, darah-keturunan kami lebih tinggi dari segalanya. Aku malu memiliki nenek yang tidak bisa merendahkan diri, merendahkan hati, dan yang tidak pernah menggunakan hati nuraninya dalam bertindak. Aku malu!

Tapi tanpa sokongan dari nenekku, aku bukanlah apa-apa. Selama ini, nenekku yang membiayai pendidikanku. Neneklah yang membesarkan aku. Dapat dikatakan, aku sudah seperti anak ketimbang cucunya. Selain itu, nenek juga jago mempengaruhi sehingga aku bingung bagaimana aku harus membuat keputusan. Seringkali juga, aku harus membohongi diriku demi keinginan nenek. Kali ini, aku sudah tidak mau mengalah lagi pada nenek. Aku akan mandiri. Juga, akan kukembalikan materi yang telah dipakai nenek untuk membiayaiku. Ya, akan kubayarkan itu sampai ke peser-pesernya.

Hari-hari yang kulalui terasa kering dan membosankan. Setiap jam, hanya satu keinginanku. Setiap detik, aku selalu berharap. Setiap menit nenekku terus merongrongku dengan pandangan individualistisnya. Setiap kali ia melihat aku termenung sendirian, ia akan mendekatiku untuk melancarkan pandangannya kepadaku. Setiap ia mendekatiku, itulah kesempatanku untuk mengutuk-ngutuki nenek. Dari luar aku terlihat mendengarnya. Namun di dalam, semua sumpah-serapah, cacian, serta makian menambahi ramainya monolog nenekku.

“Rio, kamu harus memutuskan hari ini juga!”


“Tidak, Nek! Tidak!”


“Tapi, Rio! Kalau kamu tidak memberikan keputusanmu hari ini juga, nenek akan mencoret namamu dari daftar warisan nenek! Juga, kamu akan nenek anggap sebagai cucu durhaka! Jangan harap sahabat miskinmu yang jauh itu akan hidup dengan nyaman! Ingat itu!”


“Tidak, Nek! Itulah keputusanku! Aku tidak mau lagi hidup di bawah rok nenek! Aku punya hidup, Nek! Hidupku, masaku! Bukan hidup nenek!”


“RIO!!! Beraninya kamu… ke mana semua tata krama yang telah nenek ajarkan padamu?!!”


“Maaf, Nek! Tapi inilah tata krama yang nenek ajarkan!”


“RIOOOOOOOOO………” jerit nenek sambil menampar pipiku.


“Nek! Kuharap nenek menyesal dengan tamparan itu…” bisikku pelan. Tangisku mulai pecah. Dalam hati aku mengutuki nenek.


Sambil membanting pintu kamarku, aku meredam emosiku. Sekarang nenek sudah kelewatan. Bukannya menyekolahkanku di Medan, nenek malah ingin mengirimku ke luar negeri. Sepertinya, nenek senang sekali melihat aku jauh dari sahabtku. Dengan begitu aku akan semakin menderita.

Orang tuaku sendiri belum tentu akan mendikteku seperti ini. Aku yakin itu. Tetapi nenek, nenk jauh lebih berkuasa di atas mereka. Nenek yang membiayai acara demi acara yang diadakan untuk meresmikan pernikahan orangtuaku setelah perut buncit ibuku ketahuan oleh umum. Di sana sini, mereka menggunjingkan kesucian ibuku. Mencerca-cerca moralnya. Sebagai balasan, nenek mengambilku dari ayah-ibu untuk menebus dosa mereka. Aku hanya diijinkan untuk bertemu mereka ketika libur sekolah. Di luar itu, aku diam-diam mencuri waktu. Tetapi, ketika aku bersekolah di Tangerang, sebagai gantinya aku memiliki sahabat baru. Sahabat yang selalu mengisi hari-hariku dengan tawa, riang, suka, pengalaman, kesabaran, arti hidup, segala-galanya. Inilah keluarga lainku. Ayah-ibu sahabatku menerimaku dengan tangan terbuka. Mereka mengerti keadaanku. Dengan nenek yang kolot, mereka selalu menasihati untuk menurutinya. Kali ini, aku akan kembali ke kotaku, kembali ke pangkuan sahabatku.

Ketika malam menjelang, aku tertidur. Aku bermimpi telah berada di rumah sahabatku.

Pagi-pagi buta, kujejalkan pakaian seadanya dalam tas. Menjejalkan keinginanku untuk kembali bersama di sana. Dengan sisa uang, aku bertekad menuju Tangerang dengan bus sepagi mungkin. Ketika semua orang masih lelap, aku mengendap-endap keluar. Sambil menatap rumah nenekku yang megah, aku pergi. Di batas cakrawala langit hitam mulai memudar.

Setelah mendapat tiket bus, aku bersyukur. Kemudian, perjalanan menuju kotaku dimulailah. Hampir tiga hari aku terus mendekam dalam bus. Hatiku dari hari ke hari semakin berseri.

Sesampainya di Tangerang, aku langsung melesat ke rumah sahabatku. Mereka pasti akan terkejut dengan kedatanganku. Akhirnya, aku kembali….

Di rumah sahabatku, akulah yang terkejut. Surat yang dikirim pengacara nenek telah tiba dahulu sebelum kedatanganku. Dalam surat itu, nenek dikabarkan terkena serangan jantung setelah aku minggat dari rumah. Sekarang, ia hanya bisa mengharapkan aku melihatnya.

“Rio, pulanglah ke Medan. Ini terakhir kalinya kamu akan berjuma dengan nenekmu. Rio, pulanglah…”

“Pulanglah Rio, setelah itu kamu boleh kembali ke sini…”

“Tapi…”

“Pulanglah, jangan menunggu lagi…”

Keesokan harinya, aku kembali ke Medan dengan penerbangan terawal.

“Nek…” hanya kata itulah yang keluar. Nenek terbangun seakan ada yang memaksanya. Ia kemudian mendekapku. Di sela-sela itu, ia meminta maaf kepadaku. Kemudian, beberapa jam setelah itu ia menghembusakan nafas terakhirnya. Setelah ia meminta maaf kepadaku dan setelah aku memaafkan nenekku…[1]



Medan, 23 Juni 2007, Sabtu

Erianto Ongko




[1] Cerpen ini dimuat dalam Medan Bisnis (Minggu, 13 Januari 2008).

No comments:

Post a Comment