Tuesday, December 28, 2010

Yanti, Lastri, dan Lelaki yang Kalah Perang (sebuah cerpen)

Dari kejauhan seorang gadis melangkah tergesa-gesa. Di belakangnya, seorang pemuda mengejarnya. Malam baru akan turun ketika itu. Namun kawasan itu telah sepi. Mengenai gadis tadi ia masih memakai seragam sekolah, sedang pemuda yang mengejarnya berselimutkan jaket kulit.

“Yan, jangan seperti anak kecil!” seru pemuda yang mengejar gadis tadi. Kita namakan saja ia Hartono dan gadis itu kita sebut Yanti. Gadis yang kita sebut Yanti itu tak menggubris. Ia tetap teguh pada langkahnya. Satu tapak, dua tapak, tiga tapak…



Ia cepatkan langkahnya. Semakin cepat Yanti, Hartono makin tak sabaran. Hartono mempercepat jalannya. Walau Yanti pendek, langkahnya lebar. Sedang Hartono, ia memang jangkung. Namun ia lebih terbiasa dengan motor pemberian orangtuanya. Ketika harus mengejar Yanti, Hartono kewalahan. Akhirnya Hartono seperti berlari ketimbang jalan.

“Yan, kamu sudah besar! Bukan anak kecil lagi!”

Yanti bergeming. Ia tetap teguh pada langkahnya. Di belakang Hartono kelihatan pasrah. Sial! Kenapa Yanti muncul saat ia sedang berdua dengan selingkuhan di rumahnya? Kenapa Yanti harus datang saat ia sibuk memabukkan wanita simpanannya? Kenapa Yanti harus tiba sebelum gebetan baru itu kabur?

Hartono sibuk mengutuki nasib sialnya. Sedang Yanti, ia tetap teguh pada langkahnya. Namun pada mata Yanti, tetes kepedihan mulai menggenangi pipinya. Bibirnya gemetaran, jalannya makin ia percepat. Akhirnya Yanti berlari, berlari sampai Hartono tertinggal jauh di belakang.

Sesampainya di rumah Yanti hanya bisa duduk menyesali kejadian tadi. Ia kecewa berat pada Hartono. Ia tidak pernah mengira pemuda yang dijodohkan oleh temannya itu bisa berbuat seperti tadi padanya. Ia tahu Hartono adalah pemuda yang jempolan. Itu semua diakui oleh teman sekelasnya. Tapi Yanti tak tahu bahwa Hartono juga jempolan dalam hal merayu. Yanti terus merutuki kebodohannya. Tanpa sadar, tangis kecewanya pun pecah. Lalu ia rebah dan lelap oleh tangis.

Keesokan harinya Yanti bangun dan merasakan kepalanya berdengung. Ia memilih tidak bangun. Toh sekolah sudah kehabisan bahan ujian.

Dari luar, seorang gadis berperawakan menarik membangunkan Yanti. Pintu kamar Yanti terus ia gedor. Dari dalam sendiri Yanti tak bergeming. Ia lebih suka diam.

“Yan! Buka…..” teriak gadis berperawakan menarik itu. Kita namakan saja ia Lastri. Namun yang dipanggil berkeras untuk bungkam. Lastri mulai emosi. Ia heran melihat sahabatsatu ini. Hanya karena Hartono ia bisa mengurung diri sampai sesiang ini.

“Yan, buka atau kudobrak intu ini! Biar pintu ini rusak, biar ibu kost marah! Biar kamarmu hancur! Biar semua tahu kau masih anak kecil! Biar diriku sakit! Biar….”

Yanti yang melayang di awang-awang ragu. Buka, tidak? Dari luar Lastri memasang kuda-kuda. Ia yakin dengan sekali tendangan saja pintu kamar Yanti akan pecah. Ia yakin itu.

“Yan, aku hitung sampai tiga!” teriak Lastri memperingatkan Yanti.

Pasrah, Yanti bangkit dari kasur untuk kemudian tertatih-tatih membukakan pintu. Begitu pintu terkuak, Lastri langsung menerjang masuk. Ia peluk Yanti, ia cium keningnya, ia usap pipi yang sembab oleh air mata itu, ia rebahkan kepala Yanti pada dadanya.

Tak terasa air mata Lastri keluar juga. Sesak dadanya melihat Yanti begini. Di sisi lain, Yanti langsung tumpah. Air matanya mengalir deras ketika dekapan Lastri makin erat. Pertahanannya ambruk. Kemudian Lastri memapah Yanti ke kasur. Yanti hanya bisa pasrah.

Satu jam berlalu, Yanti sudah berhenti tangisnya. Wajahnya kelihatan kusam dan murung.

“Las,” Yanti membuka suara. Suaranya parau. Yang dipanggil langsung menajamkan telinga.

“Hartono?” tanya Lastri. Yanti mengangguk.

Tiba-tiba pintu kamar Yanti diketuk orang. Kedua gadis itu terlonjak kaget: “Yan…!” suara Hartono membahana mengisi keheningan. Lastri mengerutkn dahi. Masih berani ia datang menjumpai Yanti katanya dalam hari. Yanti pasrah. Sedang Lastri pergi membukakan pintu.
Hartono masuk tanpa diundang dan langsung melesat ke sisi Yanti. Yanti bergeser menghindari Hartono.

“Ih, ini cowok nggak tahu mau ya? Udah nyakitin hati orang, maih aja berani datang!” cerocos Lastri. Hartono bungkam. Lastri tambah geram. Dilihatnya Hartono tajam tajam. Yang dilihat serba salah. Akhrinya Lastri menyerbu ke arah Hartono. Ditariknya kerah baju Hartono seakan-akan sedang menuntun kambing.

Naluri lelaki Hartono tertantang. Kemudian tangan Lastri ditepisnya.

“KELUARRR!!!!!” jerit Lastri memecah ketegangan. “Jangan pernah datang lagi ke sini! Keluar….”

“Diam! Jangan mencampuri urusanku!” jerit Hartono tak kalah. Kemudian Hartono menarik-narik Yanti.

“Yan, dengar dulu penjelasan dariku… Dia itu bukan apa-apa.. Cuma teman… sebatas itu…”

Yanti tetap bungkam sedang Lastri dengan emosi menggebu-gebu berteriak kembali, “Jangan keluarkan gombalmu di sini! Keluar! Keluar! Keluar!” Hartono kembali membalas : “Diam! Sudah kukatakan diam! Atau…”

Belum selesai Hartono mengancam Lastri, Yanti angkat suara, “Atau apa..?” Suasana kemudian hening. Yanti bagai mendapat dirinya kembali dan dengan lugas ia mulai bangkit.

“Teman biasa? Sebatas itu…”

“Iya, hanya teman biasa. Semalam itu kamu salah paham,” Hartono mengeluarkan ularnya. Dari belakang Lastri turut meramaikan, “Jangan dengar gombalnya.”

“Teman biasa, cuma sebatas itu?” ulang Yanti.

“Iya, hanya sebatas itu,” Hartono menimpali.

“Sejak kapan teman dekat bisa pegang-pegangan tangan? Sejak kapan cuma teman bisa peluk-pelukan? Sejak kapan teman biasa bisa pangku-pangkuan? Bercumbu mesra, saling merayu, saling belai, saling…” akhirnya kekesalan Yanti keluar juga. Hartono gelagapan. Ia terbungkam sekarang. “Sejak kapan teman bisa saling goda?” Napas Yanti mulai memburu. Rona marah mulai menghapuskan kesedihan dari raut mukanya. Ia tambah cantik dengan deru marah dan kecewa yang telah bercampur itu.

Di pojok, diam-diam (tentunya dalam hati) Lastri memuji keberanian Yanti untuk beraksi. Senyum simpul sedikit tersungging. Lastri puas melihat Hartono bungkam. Setidaknya dirinya tak perlu main keras terhadap pacar temannya. Ia mundur, lebih baik ia serahkan saja segala kesempatan ini pada temannya. Biar ia yang membereskan masalahnya.

“Sejak kapan teman biasa bisa lebih panas ketimbang sejoli yang mabuk cinta? Sejak kapan?” Nada suara Yanti memuncak. Hartono kaget bukan main, sedang Lastri tambah bangga. Tidak sia-sia Yanti dekat dengannya. Masih dengan nada suara yang sama, Yanti bersuara lagi, “Jawab!!!”

Hartono tetap bungkam, ia bingung memikirkan beribu alasan yang telah ia rangkai di perjalanan tado. Ia pikir Yanti akan turut padanya, ia pikir Yanti akan pasrah padanya. Ternyata tidak.

“Jawab!! Atau perlu aku yang memberikan jawaban padamu?” semburat marah membias di mata Yanti. “Mulai hari ini, kita putus! Titik. Las tolong usir cecunguk ini pergi.”

Lastri langsung bertindak. Diseretnya Hartono. Namun pria yang kalah perang itu kukuh di tempatnya. Tak tanggung-tanggung (setelah mengambil posisi) ditendangnya selangkangan Hartono…[1]
Medan, 10 November 2007, Sabtu
Erianto Ongko

[1] Cerpen ini dimuat dalam Xpresi (Edisi 24 | Maret 2008).

No comments:

Post a Comment