Tuesday, December 28, 2010

Dalam Perjalanan Pulang (sebuah cerpen)

Pulang sekolah seperti biasa aku mesti menanti angkutan umum—yang akhir-akhir ini sangat susah untuk ditemukan. Kadang aku harus menunggu sampai sekolahku lengang. Itu pun belum tentu aku dapat menaikinya.
 
Setelah lama menunggu, akhirnya datanglah angkutan yang kutunggu-tunggu. Kali ini aku beruntung. Hanya supirlah yang menguasai mobil ini. Aku tidak perlu lagi bersesak-sesak dengan ibu-ibu atau pun bapak-bapak yang terkadang membuyarkan aroma badannya yang tidak sedap. Aku juga bisa lebih leluasa untuk duduk.
 
Mobil yang kutumpangi ini melanjutkan perjalanannya. Melewati jalanan yang dipenuhi polisi, entah itu di perempatan ataupun di bundaran. Di mana mata memandang dapat kita temukan polisi. Kadang polisi itu hanya duduk-duduk sambil ongkang-ongkang kaki. Kadang polisi itu dapat kita temukan sedang menilang orang.
 
Kira-kira lima puluh meter setelah melaju, mobil ini berhenti. Satu penumpang naik. Ibu-ibu dengan perawakan besar dan membawa bungkusan besar. Ia memilih duduk di sudut. Keringat sebesar jagung menghiasi wajahnya yang berminyak. Kuterka ibu ini berumur empat puluhan. Bajunya longgar. Kini aku telah berteman melanjutkan perjalanan.
 
Mobilku—angkutan umum yang kutumpangi—melaju kembali. Kali ini dengan kecepatan maksimum seakan-akan sedang dikejar patroli. Ibu yang di depanku mulai menyantai. Tak lama, mobilku kembali berhenti. Tak tanggung-tanggung empat orang berebut naik. Kuterka mereka itu satu keluarga. Satu gadis, dua lagi anak-anak, sisanya wanita paruh baya. Yang gadis memilih duduk di dekat pintu. Namun dilarang ibunya. “Des, ngapain duduk dekat pintu. Nanti jatuh! Ayo masuk sini. Sebelah mama aja!” Oh, ternyata betul mereka itu satu keluarga, kataku dalam hati. Yang anak-anak turut ibunya. Ibu itu sendiri memilih duduk di tengah yang ada jendelanya. “Des, ayo di sini aja! Nanti kamu jatuh.” Akhirnya gadis itu mengalah. Ia duduk juga di sebelah mamanya. Mobilku mulai ramai. Ibu yang pertama kali naik itu kini mulai asyik bersenandung.
 
Mobilku melaju lagi. Kali ini lebih pelan. Supirnya sudah bisa senyum. Namun, dua puluh meter sesudah itu, mobilku berhenti lagi. Kali ini, seorang bapak masuk membawa bungkusan. Ia memilih duduk di dekat pintu. Bapak ini memegang erat bungkusannya. Sesekali kepulan asap keluar dari bibirnya yang hitam. Yah, perokok! Aku benci pada asap rokok. Kututup hidungku dengan tanganku. Aku tahu usahaku ini sia-sia. Tetap saja asap rokok itu akan tercium juga. Aku hanya berharap bapak tua itu tahu makna kututup hidungku. Ternyata tidak…
 
Mobilku kembali melaju. Kali ini dengan kecepatan sedang. Namun, tiga puluh meter mobilku berhenti lagi. Seorang ibu dengan belanjaannya memilih duduk di depan. Jarang kulihat ibu-ibu yang mau duduk di depan. Biasanya, mereka hanya mengisi bangku belakang. Mungkin melihat bapak perokok tadi, ibu yang barusan naik itu memilih di depan, di samping supir.
 
Mobilku melaju lagi. Dengan delapan penumpang, mobilku melaju pelan. Dari kejauhan, tampak segerombolan anak-anak sekolah menanti angkutan umum. Ketika mobil kami berhenti hanya dua orang yang naik. Yang satu memilih di samping bapak perokok, satu lagi memilih di depan menemani supir dan ibu yang berbaju coklat. Muka anak sekolah yang baru naik itu kelihatan lusuh. Keringat berceceran memenuhi kepalanya. Entah kenapa aku mendesak diriku duduk di sudut—di depan ibu yang membawa bungkusan itu.
 
Mobilku beraksi kembali. Supir yang di depan sudah sumringah. Jasanya laku. Mobilku melaju melewati pasar. Berhenti sebentar. Dari dalam pasar, tiga ibu-ibu berteriak. Kulihat supir di depanku tambah sumringah. Namun, beberapa penumpang mulai masam mukanya. Tiga ibu-ibu itu naik.
 
“Pak, apa itu?” tanya ibu yang membawa bungkusan. “Ayo taruh sini saja. Masih ada tempat!”
 
“Kain,” jawab bapak itu. Bapak yang duduk di dekat pintu itu bereaksi. Ia pindah ke dalam. Seorang ibu yang baru naik memilih duduk di samping bapak perokok itu, satu lagi memilih duduk di kursi tambahan, sisanya menggantikan tempat bapak itu. Mengenai bapak yang merokok itu, rokoknya masih mengepul.
 
Mobilku kembali melaju. Beberapa meter mobilku kembali menepi. Kali ini dua orang gadis naik. Ibu yang membawa tiga orang anaknya bereaksi. Anaknya paling kecil ia pangku. Aku merapat. Sedang seorang ibu menggeser pantatnya tambah dekat padaku. Dua gadis itu ragu.
 
“Masuk! Sebentar lagi saya turun. Ayo masuk saja!” Akhirnya kedua gadis itu duduk. Mepet tentunya. Perjalanan kembali dilanjutkan. Dari jendela angin berdesir memainkan rambutku. Segar. Tiba-tiba seorang ibu membuka percakapan. “Barang itu bayar?” tanyanya sambil menunjuk bungkusan bapak perokok dan ibu yang pertama naik itu. Nadanya sombong. Bapak yang merokok itu bereaksi, “Nggak bayar.”
 
Ibu yang di depanku menyambung, “Barangnya bukan diletak di kursi kok mesti bayar. Kan barangnya diletak di lantai.”
 
“Oh... nggak bayar? Kalau dulu itu bayar!” tanggap ibu yang tadi membuka pembicaraan. Bapak perokok itu mulai emosi. “Jadi kenapa kalau nggak bayar?”
 
“Dulu bayar. Sekarang kok nggak ya?” pancing ibu tadi. Bapak itu membalas, “Ibu mau minta bayar? Saya bayar!” Nada bapak perokok itu meninggi. Dadanya kembang kempis. Dalam hati aku mengutuk ibu yang membuka pembicaraan tadi. Senyumnya sinis. Begitu juga bapak perokok tadi.
 
“Barang besar-besar kan bikin sempit,” celetuk ibu yang tadi membuka pembicaraan. Ibu yang duduk di sebelah bapak perokok itu menyahut, “Saya letaknya kan di lantai. Bukan di kursi. Saya juga udah nempel ke dinding.”
 
Suasana memanas. Aku rada ngeri. Aku takut timbul pertikaian dalam mobilku ini—angkutan umum yang kutumpangi. Setelah itu, ibu itu dipelototi oleh seisi mobil. Akhirnya ibu yang mengawali pembicaraan itu bungkam. Namun bapak yang perokok itu masih kelihatan masam. Kerut-kerut mukanya tampak jelas. Ibu yang membawa bungkusan menatap ibu yang membuka pembicaraan dengan emosi. Penumpang yang lain hanya bisa diam. Tanpa mau mencampuri urusan. Mereka lebih suka tak tahu-menahu.
 
Mobilku yang telah melaju dengan mulus berhenti lagi. “Ayo, Bu! Masih muat!” Ibu yang dipanggil itu kelihatan jengah melihat kondisi kami yang telah bersesak-sesak. Ia menggeleng. Di dalam mobil, aku mengucap syukur.
 
Mobilku kembali melaju. Kali ini dengan kecepatan penuh. Belum sampai sembilan puluh meter, aku berteriak, “Bang, pinggir!” Mobilku mulai menurunkan kecepatannya. Namun ia tak henti-henti juga. Aku mengulang mantra sakti untuk turun. Tak kunjung berhenti. Penumpang yang lain hanya bisa menggeleng. Tak satu pun membantuku. Kuteriakkan kembali. Kali ini dengan sekuat suaraku. Akhirnya mobilku berhenti…[1]
Medan, 9 November 2007, Jumat
Erianto Ongko



[1] Cerpen ini dimuat dalam Medan Bisnis (Minggu, 25 November 2007).

No comments:

Post a Comment