Monday, May 26, 2008

Ida (sebuah cerpen)

Saat senja membiaskan paras ayunya, aku mulai terpekur menantang tiang awan. Di mega-mega dapat kulihat burung-burung melesat dengan cepat. Siluet yang tercipta dari tubuh mungil mereka lama kelamaan pudar dan menghilang.

Ah! Betapa enaknya menjadi burung di langit. Betapa bebasnya! Ke mana pun aku ingin pergi, pasti aku bisa. Seandainya aku jadi burung, pastilah seluruh bumi telah kujelajahi. Namun, manusia tetaplah jauh lebih unggul dari burung mana pun. Di lain pihak aku harus sadar bahwa manusia juga makhluk yang sama tidak berdayanya dengan burung mana pun ketika dihadapkan dengan dunia nyata.



Hingga malam menyeret bias senja, aku tetap tegak di tempatku. Walaupun nyamuk-nyamuk sudah ramai berdengung di sana-sini, aku masih tegak merasakan debur ombak ditimpa terang bulan. Ditemani suara ombak, aku merasa tenang. Kadang, bila aku merasa rindu, tepian pantailah menjadi obat rinduku.

Telah enam bulan berlalu semenjak tsunami datang menghantam kota kecil ini. Berarti telah enam bulan juga aku menjadi sukarelawan. Sebentar lagi, kami sukarelawan akan kembali ke tempat tinggal kami masing-masing. Sebagian dari kami ada yang memutuskan untuk menetap di sini. Menjalani keseharian bersama kesederhanaan alam, menjaring di lautan bebas, mereguk mimpi-mimpi melalui pengalaman, dan melestarikan lingkungan yang rusak setelah tsunami…
Aku sendiri memilih untuk pulang ke kotaku. Tetapi, aku selalu ragu untuk pulang tatkala aku menatap mata nanar seorang gadis bernama Ida.

* * *


Ketika tsunami datang melanda, radio, televisi, koran serta dari mulut ke mulut tiada putus-putusnya mendengungkan kabar miris mengenai korban jiwa akibat gelombang tsunami. Maupun korban lain yang akan menyusul jika bantuan dari pihak lain tidak mengalir. Setidaknya, seluruh populasi di kota kecil itu akan terpengaruh. Mulai dari yang tersisa ataupun yang akan lahir tanpa figur seorang ayah.

Dari radio-radio, tidak henti-hentinya melaporkan perkembangan terbaru. Berapa korban jiwa, korban materi dari seluruh pelosok yang hancur diterjang tsunami serta tidak lupa juga pendapat orang-orang penting mengenai musibah ini.


* * *


Saat aku beserta rombongan tiba di kota kecil ini, kesan pertama yang kudapatkan begitu menyayat hati. Bangkai-bangkai ikan bertebaran mengisi sela-sela jalan. Rumah-rumah telah menjadi puing untuk dikenang. Mayat-mayat manusia—baik yang tua renta maupun anak-anak turut menambah desahku. Jujur, baru kali inilah aku berhadapan langsung dengan pemandangan seperti ini. Bagaikan mimpi rasanya.

Mentalku langsung jatuh. Aku berusaha menyadari bahwa aku pun akan ikut menambah timbunan mayat bila kotaku yang tersapu gelombang. Menyadari bahwa di mana pun aku berdiri, aku hidup, sebentar saja itu akan berlalu. Menyadari bahwa aku masih harus berdoa dan bersyukur siang dan malam. Memohon lindungan-Nya setiap waktu. Menyadari bahwa aku ini harus mawas diri.

Tugas pertama yang dapat kukerjakan hanyalah mendirikan tenda tempat kami bernaung. Untunglah masih ada lapangan kosong sehingga dapat dijadikan tempat penampungan bantuan serta penduduk yang masih hidup. Suasana begitu kacau untuk pertama kalinya sehingga dibutuhkan lebih banyak kesabaran. Ada penduduk yang tidak sabaran mengantri untuk mendapatkan jatah mereka, ada pula yang masih enggan untuk beranjak. Mereka yang enggan beranjak ini lebih banyak duduk merenungi hidup mereka. Tangis anak-anak kecil terdengar di sana-sini. Seakan-akan mereka ingin membantu ibu mereka yang meraung-raung. Kemudian, ada juga ibu yang pingsan karena beban dalam hati mereka. Terpaksalah ibu-ibu seperti ini kami kipasi dan dijaga kondisi batinnya agar stabil.

Di hari kedua, kami mulai menemukan kesulitan. Anak-anak mulai terserang diare. Untung bukan akulah yang mendapat bagian pengobatan. Tugasku untuk menenangkan orang lain. Dalam hal ini, aku harus mendengarkan keluh kesah dan hal ini akan menambah pengalamanku.

Dulu aku pernah menjalani kuliah untuk menjadi seorang psikolog. Namun, di semester keempat mau tak mau aku harus drop out karena masalah keuangan. Tentunya, kalau aku berhasil menjadi psikolog, orang tuaku pasti bangga. Tapi, kebanggaan itu harus kandas. Malahan seperti mahasiswa DO yang lain, aku mati-matian mencari pekerjaan, entah itu melalui koran-koran atau pun relasi. Tetap saja aku harus menganggur berbulan-bulan. Setelah itu, orang tuaku menyarankan aku memberi bimbingan belajar. Lumayanlah kehidupanku setelah nasihat orang tuaku kuturuti.

Beberapa korban bencana tsunami dapat dengan mudah kutangani. Kebanyakan dari mereka merasa ombak yang berikut akan kembali lagi. Ada juga yang ingin pindah ke kota lain—malah ada yang ingin ke wilayah pegunungan! Ibu-ibu yang sudah lama mengandung mulai mengeluh tentang kesehatan kandungan mereka. Tak jarang di tenda-tenda yang kulewati terdengar isak tangis ibu-ibu.

Hari ketiga, aku berhadapan lagi dengan korban yang membutuhkan bantuan kejiwaan. Kali ini jumlah mereka bertambah. Untunglah sukarelawan terus berdatangan untuk membantu.
Sore hari, setelah tugasku telah selesai, aku berjalan menyusuri jalan-jalan. Terpaan mentari memerahkan langit. Jalanan mulai lengang.

Sekonyong-konyong dari arah barat seorang gadis berlarian sambil berteriak, “Mak! Mak! Ida di sini! Mak……..!” Suaranya begitu melengking. Setelah itu, gadis itu telah roboh ke aspal. Sekonyong-konyong pula aku bergegas ke tempatnya.

Setelah satu jam berlalu, Ida mulai sadar. Perlahan matanya membuka. Mata nanar merah itu terpaku menatapku. Mata nanar yang mengedipkan resah dan resah itu, hanyut dalam hatiku. Mata nanar itu mulai bersimbah air mata. Kaca-kaca yang menyelimuti menambah kejernihannya. Rasa takut bercampur angkuh membias dari matanya.
Dalam hati, gejolak yang tak pernah kurasakan menggaungkan perasaan aneh. Debar jantungku mulai berlarian tak tentu. Anehnya, aku merasa nyaman.
Lama kami larut dalam hujan kebisuan. Dengan kikuk, aku mengambil handuk basah untuk mengelap wajahnya. Namun baru saja handuk itu ingin kudekatkan ke mukanya, handuk itu telah jatuh dari genggamanku. Kini, aku bertambah kikuk.

Diam-diam aku mencuri pandang. Ah! Hidung kecilnya indah dalam tatapanku. Hidung kecilnya mengembang dengan irama kesedihan dan kesedihan itu merasuk jauh ke hatiku.
Begitu pandangan kami bertemu, Ida tersenyum. Lalu, aku pun mulai menjalankan tugasku untuk menenangkan hatinya, bertanya mengenai keadaannya. Tentunya aku lebih banyak menatapnya daripada mendengarkan jawabannya.


* * *


Setelah pertemuanku dengannya, aku mulai menggambarkan dia dalam kata-kataku. Memujanya, membiaskan parasnya. Menari-narikan parasnya melewati awang-awang.
Terkadang, aku disibukkan dengan lamunanku sendiri. Saat tenda sedang ramai-ramainya, aku sering digoda oleh sukarelawan yang lain. Yang satu melantunkan puisi kemudian yang lain akan tertawa bersama-sama. Orang-orang di tenda yang kesakitan pun tertawa. Mereka semua memang membutuhkan hiburan. Itu terjadi setelah keadaan mulai tenang dan trauma tsunami mulai menguap ke langit.

Aku merasa tak enak. Banyak orang menjodoh-jodohkan aku dengan Ida. Semenjak kami mulai bertemu, bisik-bisik mulai terdengar, “Tahu tidak? Penolong Ida kepincut loh sama si Ida!” Kemudian, ada yang menyambung, “Beruntung si Ida!”

“Eh, sekarang Ida makin lengket loh sama penolongnya.”

“Iya, makin hari makin sreg saja kelihatannya.”

Anehnya, aku merasa senang. Pernah sekali waktu salah seorang sukarelawan dari daerah Jawa melakonkan Rama yang sedang dimabuk asmara. Kemudian, aku menjadi Kurawa mengusir kejahilan mereka. Tetapi, sebagai Hanuman, ibu-ibu yang lain ikut menyerangku. Tenda kami sering dilirik orang ketika suara gaduh meledak.

Inikah cinta? Di saat orang meledekku, aku semakin bertanya-tanya. Akukah Rama itu, dan Idakah Sintanya?

Di satu sisi, kesehatan Ida mulai membaik dan nalarnya mulai bisa menerima bencana ini. Kedua orangtuanya masih belum diketahui keberadaannya. Untunglah ada kerabat dekatnya yang selamat. Kami para sukarelawan bersepakat untuk menetapkan jangka waktu satu bulan sebagai tanda bahwa orang yang hilang akan dinyatakan meninggal. Namun, tidak terbuka kemungkinan di kemudian hari, barulah orang hilang itu muncul. Entahlah…

* * *


Kota kecil ini mulai membenahi dirinya. Di sana-sini rumah-rumah mulai tegak kembali. Walau tidak semegah dulu, orang-orang sudah bersyukur. Berkat bantuan dari pihak luar, rumah-rumah darurat dibangun. Taman-taman yang dulu kotor mulai menampakkan sinar cemerlangnya. Arus lalu lintas bukan hanya untuk truk pembawa bahan pangan. Kini, penduduk sudah kembali aktif ke kegiatannya.

Kami para sukarelawan juga mulai berbenah diri untuk kembali ke kota kami masing-masing. Akhir bulan yang ditentukan akan disediakan transportasi dari pemerintah untuk mengantarkan kami ke tempat tujuan kami. Tidak semua harus ikut. Namun, pemerintah masih saja kewalahan untuk memulangkan sukarelawan. Dari negara lain, beberapa sukarelawan tidak menggubris panggilan dari negaranya. Banyak dari mereka kepincut dengan penduduk setempat. Sisanya tergila-gila dengan keindahan dan terik mentari.

Aku sendiri kepincut dengan gadis yang bernama Ida. Ini kusadari setelah aku berpikir matang-matang. Kini, akulah yang bingung. Inikah cinta? Atau perasaan lain?

Hari terus bergulir sampai hari kepulanganku tiba. Pulang atau… Aku masih saja ragu.
Enam jam sebelum keberangkatanku, kusempatkan diriku pergi ke pantai untuk menenangkan diri. Debur ombak menyambutku. Aroma laut ini telah lama kurindukan.

Hingga malam menyeret bias senja, aku tetap tegak di tempatku. Walaupun nyamuk-nyamuk sudah ramai berdengung di sana-sini, aku masih tegak merasakan debur ombak ditimpa terang bulan. Ditemani suara ombak, aku merasa tenang. Tanpa terasa enam jam telah berlalu dan aku semakin tenggelam bersama debur ombak. Kepulanganku akhirnya kubatalkan. Masih ada hari esok, bujukku dalam hati.


* * *


Ketika aku bangun, Ida telah ada di sampingku. Menemaniku di hamparan pasir. Ia masih tidur. Entah sejak kapan ia bersamaku. Yang kutahu sampai bulan mulai merunduk, aku mulai terkantuk dan saat itu aku masih sendirian.

Ah, Ida! Siapakah aku ini? Apakah aku jodohmu? Ida, aku masih bujangan dan pengangguran. Dapatkah aku bertahan bila menjadi pelindungmu? Ida, apakah kau tahu bagaimana hatiku? Ida, apakah kau tahu rasa takutku? Ida, apakah kau… Ah! Ida engkau membuatku gila. Ida! Ida! Ida…

Kutinggalkan Ida tertidur. Biarlah ia bermimpi bertemu dengan keluarganya yang lain. Biarlah ia bermimpi bertemu pangeran yang akan menyelamatkannya, mendampinginya, melindunginya. Biarlah ia jatuh cinta asal jangan denganku! Aku masih pengangguran. Ida, andaikan aku sudah memiliki pekerjaan tetap, aku berani mencintaimu. Ida, tahukah kau—.
Lamat-lamat aku sudah meninggalkan Ida di kejauhan. Ia masih tertidur. Ida, inikah cinta? Maukah kau mencintaiku? Maukah kau hidup terlunta bersamaku? Sanggupkah kau? Inikah cinta? Ketika orang yang dicintai harus hidup terlunta bersama orang yang mencintai? Inikah cinta? Ketika kemalangan baru meninggalkanmu Ida, lalu kemalangan lain yang bernama cinta menghampirimu? Inikah cinta? Ketika yang mencintai takut untuk dicintai? Inikah cinta? Ketika harapan untuk dicintai harus terkubur jauh-jauh? Inikah cinta? Ketika hati mencinta, otak mencinta, nurani menolak?

Ida, engkau membuatku gila. Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu. Namun, aku takut kau akan jatuh cinta padaku. Ida, engkau membuatku ingin mati… Ida, inikah cinta? Ketika orang yang mencintaimu harus meninggalkan dirimu?

Di kejauhan, kulihat Ida telah beranjak dari peraduannya. Seperti orang bingung ia mencari-cari. Ida, biarlah engkau mencari-cari. Carilah belahan hatimu sampai dapat. Tak terasa air mataku telah meleleh.

Di kejauhan, Ida roboh mencium pasir.

“Ida….” Aku berlari menuju tempat Ida. Beberapa kali aku terjengkang dan berguling-guling seperti anak kecil. Aku bangkit dan bergegas.

Sesampainya di tempat Ida, aku menangis. Ida, itukah kau? Dalam kelelahan kau masih saja terlihat cantik di mataku. Ida, itukah kau?

Sambil menangis Ida kubopong ke tempat yang teduh. Bangunlah Ida, aku mulai membujuk-bujuk dia. Namun, ia tidak kunjung sadar. Malah ia mulai mengigau dengan penuh kekhawatiran.

Ida, ketika kau bangun, aku ingin menjadi pelindung bagimu. Biarlah semua ketakutanku menjadi pelengkap hari-hariku, biarlah itu menjadi hiasan dalam kelemahanku. Ida, ketika kau bangun, aku ingin selamanya bersamamu. Ida, aku mencintaimu… Tanpa sadar, aku mulai bergumam. Entah dalam keadaan tidak sadar Ida mendengarkan atau tidak. Tapi aku yakin bahwa Ida mendengarkan gumamku karena matanya mulai mengguratkan air mata. Ida pun ikut menangis.

Ida, inikah jawabmu? Apakah kau menangis karenaku? Kubisikkan ke telinganya pelan-pelan. Kemudian, aku mendekapnya. Sekarang, aku sendiri yang takut kehilangan Ida. Aku ingin Ida selalu di sampingku, menemaniku. Ida, engkaukah jodohku? Kubisikkan tanyaku itu ke telinga kecilnya.

Ida, dengarkah kau bisikku ini? Bangunlah, pangeranmu telah datang.

Ida beringsut. Lamat-lamat ia membuka matanya yang telah sembab oleh air mata.
Ah! Mata nanar itu! Mata nanar itu kembali mengedipkan resah dan resah itu, resah itu kembali hanyut dalam hatiku. Mata nanar itu telah berurai air mata. Beningnya matanya membuatku tenang. Hidung kecilnya indah dalam tatapanku. Hidung kecilnya mengembang dengan irama kesedihan.

Ida berusaha membuka mulutnya. Namun, aku tidak mengizinkan dia berbicara lagi. Menangislah Ida, menangislah bersamaku.

Kutatap sekali mata nanar milik Ida. Kali ini, resahnya telah hilang. Dalam mata Ida aku telah menemukan jawaban. [1]



diselesaikan
Medan, 13 Agustus 2007, Senin
Erianto Ongko



[1] Cerpen ini meraih juara 14 dalam Sayembara Menulis Cerpen Remaja 2007 yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Medan

1 comment:

  1. wah,,,,,
    ni org ternyata tahu apa yg nama nya cerita cinta ya,,,,,

    ReplyDelete