untuk J. B. H. Malau
Namanya Janus. Orang-orang lebih suka memanggilnya Malau. Begitu juga dengan murid-murid yang diajarnya. Sudah bertahun-tahun ia menjadi tenaga pengajar. Juga sudah berapa angkatan yang ia ajar. Janus sendiri tak pernah menghitungnya. Ia hanya bisa memendam tiap tahun yang ia lewati dalam hatinya.
Janus, seorang guru Matematika lulusan teknik sipil yang mengadu nasib menjadi guru. Namun, tak ada yang mengira bahwa ada jiwa guru dalam dirinya. Bahkan rekan-rekannya menjadikannya sebagai contoh untuk ditiru. Banyak murid yang senang dengan cara mengajarnya: bagaimana ia menerangkan tanpa menceritakan dongeng pengantar tidur.
Tahun ini, ia kembali mendapat kepercayaan menjadi wali kelas. Memang sudah tradisi baginya. Ia sangat yakin, tahun ini ia akan menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik—sama baiknya seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ia berjanji akan memantapkan kelas arahannya menjadi kelas teladan. Hal ini telah ia bisikkan pada istrinya di rumah.
Namun, tak semuanya mudah untuk dikerjakan. Seiring waktu berjalan ia mendapati bahwa tugasnya bukanlah hal yang mudah. Menjadi wali kelas dari kumpulan berandalan serta jenius tak bermoral.
Tahun ini barulah ia mendapati kelas yang begini hancur. Sudah begitu banyak masalah yang ditimbulkan kelas arahannya. Kalau disebutkan satu persatu, semalaman pun tak akan usai.
Belum sebulan sudah banyak masalah yang timbul. Ada yang merusakkan kursi dan bangku hanya untuk bermain. Ada lagi guru yang keluar dari kelas dengan emosi memuncak. Betapa tidak, saat guru menerangkan tak satu pun murid yang memperhatikan. Semuanya sibuk dengan diri mereka. Ada yang membicarakan rencana mereka seusai sekolah, ada yang sibuk memimpikan cita-cita yang akan mereka raih dalam buaian, ada yang membuka band demi meramaikan kelas, lainnya termangu melihat guru mengoceh di depan.
Juga berapa laporan yang telah ia dapat dari rekannya. Janus malu setiap mendengar laporan itu. Belum lagi selentingan-selentingan mengenai kelasnya. Ia emosi juga melihat kelakuan mereka.
Namanya Janus. Orang-orang lebih suka memanggilnya Malau. Begitu juga dengan murid-murid yang diajarnya. Sudah bertahun-tahun ia menjadi tenaga pengajar. Juga sudah berapa angkatan yang ia ajar. Janus sendiri tak pernah menghitungnya. Ia hanya bisa memendam tiap tahun yang ia lewati dalam hatinya.
Janus, seorang guru Matematika lulusan teknik sipil yang mengadu nasib menjadi guru. Namun, tak ada yang mengira bahwa ada jiwa guru dalam dirinya. Bahkan rekan-rekannya menjadikannya sebagai contoh untuk ditiru. Banyak murid yang senang dengan cara mengajarnya: bagaimana ia menerangkan tanpa menceritakan dongeng pengantar tidur.
Tahun ini, ia kembali mendapat kepercayaan menjadi wali kelas. Memang sudah tradisi baginya. Ia sangat yakin, tahun ini ia akan menyelesaikan tugasnya dengan sangat baik—sama baiknya seperti tahun-tahun sebelumnya. Bahkan ia berjanji akan memantapkan kelas arahannya menjadi kelas teladan. Hal ini telah ia bisikkan pada istrinya di rumah.
Namun, tak semuanya mudah untuk dikerjakan. Seiring waktu berjalan ia mendapati bahwa tugasnya bukanlah hal yang mudah. Menjadi wali kelas dari kumpulan berandalan serta jenius tak bermoral.
Tahun ini barulah ia mendapati kelas yang begini hancur. Sudah begitu banyak masalah yang ditimbulkan kelas arahannya. Kalau disebutkan satu persatu, semalaman pun tak akan usai.
Belum sebulan sudah banyak masalah yang timbul. Ada yang merusakkan kursi dan bangku hanya untuk bermain. Ada lagi guru yang keluar dari kelas dengan emosi memuncak. Betapa tidak, saat guru menerangkan tak satu pun murid yang memperhatikan. Semuanya sibuk dengan diri mereka. Ada yang membicarakan rencana mereka seusai sekolah, ada yang sibuk memimpikan cita-cita yang akan mereka raih dalam buaian, ada yang membuka band demi meramaikan kelas, lainnya termangu melihat guru mengoceh di depan.
Juga berapa laporan yang telah ia dapat dari rekannya. Janus malu setiap mendengar laporan itu. Belum lagi selentingan-selentingan mengenai kelasnya. Ia emosi juga melihat kelakuan mereka.
* * *
Yang ditakutkan Janus akhirnya terjadi juga. Kalau sampai ada guru yang memberikan laporan lagi tentang kelasnya…Ah! Ia tak tahu bagaimana harus berbuat. Sudah berapa nasihat yang melayang dari mulutnya. Sudah berapa cara ia coba untuk membina mereka. Namun, tetap saja ada masalah yang timbul. Kali ini, kepala sekolah sendiri memanggilnya untuk membicarakan hal ini.
Kini Janus bimbang. Masih mungkinkah ia memantapkan kelasnya menjadi kelas teladan? Masih bisakah ia bertahan menjadi wali kelas? Masih bisakah ia bertahan dengan tingkah laku muridnya? Masih sanggupkah ia menebalkan muka karena kelakuan muridnya yang—ah! Ia tak berani bertanya terlalu banyak. Ia bimbang sekali.
Memasuki kantor kepsek, kepalanya terus tunduk. Ia telah memantapkan hatinya untuk sabar. Sekeluarnya dari sana, kesabarannya makin menjadi. Kepala sekolah memberikan kesempatan baginya untuk mundur menjadi wali kelas sampai tahun depan atau beralih ke kelas plus yang lebih manut.
Biarlah tahun ini menjadi penghabisan, pikirnya. Biarlah kesabarannya menjadi senjata terakhirnya. Ia hanya bisa mengelus dada. Dalam hati ia hanya bisa menyabarkan diri dan menebalkan gengsinya.
Sepulangnya, ia lesu. Istrinya heran melihat suaminya bagai orang sekarat. Belum pernah ia mendapati suaminya seburuk itu. Memang telah banyak masalah yang ia dengar dari suaminya. Namun suaminya tak pernah sepasrah ini.
“Pak…” Istrinya membuka suara. Yang dipanggil termenung. “Pak!” Kali ini istrinya menyenggol bahunya. Yang disenggol mendongak tapi mulutnya terkunci. Istrinya paham: suaminya tak ingin diganggu.
Dalam kesendirian yang entah kesekian kalinya, Janus meratapi hari-hari sambil merenungkan apa yang bisa ia lakukan. Ia malu juga ketika bertemu istrinya dengan muka masam. Padahal ia pernah berjanji akan menjadikan kelasnya sebagai kelas teladan. Ketika sibuk merenungkan hal ini, tanpa sadar matanya pun berair dan akhirnya ia pulas.
Keesokan harinya, ia mengajar seperi biasa. Mau tidak mau ia harus memasuki kelas arahannya—kelas teladan yang ingin ia wujudkan. Hatinya telah ia sabarkan untuk memasuki kelas. Ia tak mau tahu lagi dengan keadaan kelasnya, biarlah ia masa bodoh. Ia berusaha menutup mata dan telinganya. Ia terus mengoceh tentang pelajarannya. Ia tak peduli lagi apakah akan ada yang mendengar atau tidak. Ia juga sibuk membahas soal untuk dirinya. Ia tenggelam dalam dunianya. Akhirnya, ia jatuh mencium lantai. Seisi kelas baru sibuk ketika itu. Seorang anak langsung melesat keluar, sedang yang lain memapah wali kelas mereka.
Ketika itu, mereka baru melihat bagaimana napasnya yang capek. Ketika itu, mereka baru sadar bahwa banyak terjadi perubahan pada wali kelasnya. Wajahnya yang tirus, lingkar matanya yang makin hitam, carut dan kusam mukanya, serta rautnya yang lusuh. Ketika itu mereka baru sadar bahwa mereka telah melewati batas. Ketika itu, mereka baru sibuk membenahi diri. Ketika itu, barulah mereka sibuk menyalahkan diri.
Janus langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Dokter segera memeriksanya. Depresi berat. Untuk sementara dokter hanya bisa memberikan suntikan penenang dan membuat Janus santai. Untuk sementara pula, ia tak akan mengajar. Setidaknya sampai ia dinyatakan lepas dari depresinya.
Di sisi lain, anak-anak arahannya mulai berbenah diri. Mereka merasa kehilangan. Tak ada lagi radio rusak yang dapat mereka dengar. Biasanya sebelum memulai pelajaran, Janus akan mengutip kata bijak yang pernah ia baca. Namun, tidak akan ada lagi kata bijak, tidak akan ada lagi guru yang terus mempermasalahkan kelakuan mereka, tidak ada lagi guru yang berkata: “…kapan kalian akan berubah? Setelah saya mati? Setelah saya tak lagi bernapas? Atau setelah kalian dijemput maut? Ketika kalian akan merasa terlambat? Kapan? Kapan kalian akan berubah….”
Perlahan-lahan anak-anak arahannya mulai teratur. Tak ada lagi bolos, tak ada lagi yang ribut di kelas, tak ada lagi masalah tawuran, tak ada lagi laporan dari guru, tak ada lagi yang sibuk dengan dirinya. Semuanya telah berbenah. Satu persatu mulai sadar. Namun, Janus tak bisa menemani mereka. Ia belum diijinkan untuk mengajar.
Akhirnya ketika Janus diijinkan untuk mengajar, guru-guru telah memberikan julukan pada kelas itu sebagai kelas teladan…[1]
Medan, 6 Desember 2007, Kamis
Erianto Ongko
Erianto Ongko
[1] Cerpen ini dimuat dalam Xpresi (Edisi 25 April 2008).
wowwwwww
ReplyDelete