Hujan kembali mengguyur kotaku. Kali ini dengan gemuruh di sana sini. Langit yang tadi cerah sekarang telah mencurahkan kesedihannya. Angin seperti mengerti sehingga derai air hujan semakin keras menampar jalanan.
Sejak tadi ibu mencemaskan adikku yang tak kunjung pulang. Semakin deras hujan, ibu semakin kalut.
“Sudahlah Bu! Bram itu sudah besar. Dia pasti baik-baik saja,” bujukku agar ibu tidak lagi mencemaskan Bram.
“Tapi Pras, kali ini perasaan ibu waswas sekali. Ibu takut Bram kenapa-kenapa di jalan. Lagian Bram selalu duluan tiba di rumah daripada kamu.”
“Iya, Bu! Tapi bisa saja Bram terjebak hujan.”
“Ndak mungkin Pras! Bram pasti telepon kalau dia pulang telat. Tapi kali ini…”
“Sudahlah, Bu! Bram sudah besar. Pasti dia bisa menjaga dirinya sendiri.”
Namun, ibu masih saja kukuh untuk menunggu adikku yang paling bontot, Bram yang selama ini menjadi curahan kasih ibuku. Mungkin karena rentang umur kami yang memang jauh. Ketika aku kuliah, Bram baru akan duduk di kelas empat. Untungnya, Bram tahu bagaimana harus bersikap ketika curahan kasih ibuku yang berlimpah itu dihidangkan padanya. Bram tahu bagaimana harus menyenangi hati ibu. Bram tahu bagaimana perasaan ibu. Sehingga Bram berusaha keras agar dirinya tidak menyakiti perasaan ibu.
Kali ini, aku tidak habis pikir dibuat Bram. Kenapa ia belum juga memberi kabar ke rumah. Lalu, perasaan waswas ibu menular juga padaku.
“Pras! Cepat telepon ayahmu! Suruh ia pulang sekarang juga!”
Dari pintu depan, ibu berteriak berusaha mengalahkan deru hujan.
“Iya, Bu!”
Setelah itu, aku menghubungi kantor ayah. Karena rapat, ayah tidak bisa langsung pulang. Sekitar satu setengah jam lagi ayah berjanji akan sampai di rumah (itu pun sudah dengan usaha ayah untuk minta izin). Hal ini kusampaikan kepada ibu.
“Bu, ayah lagi sibuk di kantor. Satu setengah jam lagi baru pulang.”
Ibu sepertinya tidak menggubrisku. Matanya menerawang jauh. Aku melihat nada getir dalam tatapan kosongnya.
Lama aku dan ibu terdiam. Kemudian: “Pras… Apa mungkin adikmu itu kecelakaan…”
“Bu! Bram pasti bisa menjaga dirinya…”
“Tapi Pras, hati ibu janggal. Ada yang tidak klop. Biasanya Bram sudah mandi dan wangi. Tapi—kali ini, Bram masih saja belum kelihatan.”
Di luar kilat bergemuruh dengan dashyat. Hatiku semakin gundah. Aku takut perasaan ibu menjadi kenyataan. Aku takut! Biasanya firasat ibu akan menjawab kegundahan hati. Namun kali ini, aku tidak berani membenarkan firasat ibu. Sadarkah ibu bahwa doa untuk kesialan anaknya lebih manjur ketimbang doa untuk keselamatan anaknya? Aku harap ibu sadar akan hal itu.
Bram tumbuh dengan banyak talenta. Bila malam menjelang ia akan bercerita tentang keseharian yang dilaluinya. Kemudian seisi rumah akan menjadi gaduh karena cerita yang didongengkannya. Kalau ia sedang berat mulut, Bram akan mampir ke dapur untuk membantu ibu. Ketika ayah tiba, Bram dengan sigap akan memijat pundak ayah. Setelah itu, ayah baru akan mandi. Bila pagi menjelang, ia sibuk di taman. Entah memberi makan ikan koi ayah atau menata kembali bunga-bungaan ibu. Dari pagi saja Bram telah sibuk. Kadang aku malu pada adikku ini. Karena saat pagi menjelang aku masih berleha-leha ditemani dengan mimpi yang tak tentu arah atau pun menghabiskan pagi untuk bersantai-santai dengan buku-bukuku. Terkadang, ibu akan datang menegurku dan memerintahkan aku untuk keluar kamar.
Bram juga jago menulis. Tulisannya tersebar di koran-koran dan tertempel di mading sekolah. Ia jago bercerita. Kalau ia sudah mulai bercerita, semua orang yang mendengar ceritanya seperti tersihir. Mereka tidak akan beranjak sebelum Bram selesai bercerita. Bram akan membangun suasana yang begitu pas dengan ceritanya. Kemudian mencari jalan untuk mengakhiri sehingga terdengar klop dan tidak dibuat-buat. Bram juga membuat suasana ceritanya bertambah hidup. Kadang, bila Bram sedang pergi ke luar kota untuk tugas atau menginap di rumah temannya, seisi rumah seperti kuburan.
Namun, sebanyak apa pun talenta yang tumbuh dalam dirinya, aku tidak habis pikir kenapa kali ini Bram belum juga memberi kabar ke rumah. Ia selalu menjadi yang pertama ada di rumah setelah ibu. Kalau dia tidak langsung pulang, terlebih dahulu ia akan memberi kabar ke rumah. Kadang aku merasa Bram ini terlalu manja dengan ibuku. Pernah sekali aku mendengar selentingan dari teman-temannya: “Bram itu anak mami ya?!”
Jujur hal ini tak bisa kuelakkan. Ia memang sangat patuh sekali pada ibu. Bila ibu mengatakan tidak pada teman wanitanya, keesokan harinya teman wanita tidak akan datang lagi. Aku merasa aneh pada diri Bram. Ia seperti kehilangan dirinya. Sepertinya dirinya adalah bagian dari ibu. Ia memang tumbuh dengan banyak talenta.
Namun ia tidak tumbuh menjadi dirinya.
Ketika pintu rumah digedor orang, ibu dengan tergopoh-gopoh berlari membukakannya. Ia sangat berharap sekali yang mengedor itu adalah Bram, anak kesayangannya. Namun, ia bukan Bram.
“Pras, ada tamu.”
Aku beranjak dari tempatku.
“Siapa, Bu?”
“Polisi.”
Sontak jantungku langsung berdebar keras. Tanganku mulai gemetaran. Lidahku mulai terasa kelu.
“Polisi, Bu?”
“Iya, Pras.”
Nada suara ibu terdengar pasrah.
Ya, memang polisilah yang menggedor pintu rumah kami. Dengan jas hujannya yang putih, ia bertamu. Ibu mempersilakan polisi itu duduk. Namun polisi itu menolak.
Polisi itu membuka suara, “Apa benar ini rumah keluarga Bram Wijaya?”
Ibu dan aku hanya bisa menganggukan kepala (anggukanku lemah sekali).
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku segera menyongsong dan membuka pintu. Kemudian, ayah masuk. Sambil membuka sepatunya ayah berkata: “Ada tamu rupanya.”
Ayah menyalami polisi tersebut. Kali ini giliran ayah mempersilakan polisi itu duduk. Polisi itu tetap menolak. Ia kelihatan sangat terburu-buru.
Setelah batuk beberapa kali, polisi itu kembali berbicara, “Maaf, kedatangan saya mengganggu keluarga Anda.”
“Oh, tidak-tidak. Kami malah senang pamong praja seperti Anda mau mampir ke rumah kami,” ayah berbasa basi. Untunglah ayah pulang. Kalau tidak entah bagaimana aku harus membuka suara.
“Pras tanya bapakmu, untuk apa polisi itu datang. Perasaan itu tambah ndak enak saja,” bisik ibu ke telingaku. Seperti mendengar bisikan ibuku, polisi itu langsung angkat suara: “Saya kemari ingin memberi tahu hal yang menurut saya penting,” ia berhenti sejenak, “anak Anda mengalami kecelakaan. Bis yang ia tumpangi terseret oleh truk kontainer dan amblas ke kali…..”
Polisi itu diam seakan memberi kami kesempatan untuk berduka. Aku takut ibu akan pingsan. Namun ibu tak kunjung juga terkulai lemas ke lantai. Ibu malah menangis. Tangis ibu sumbang dan tawar.
Polisi itu telah pamit sejam yang lalu. Tinggal aku, ayah, dan ibu. Ibu masih saja menangis. Ayah yang berada di sisinya terus-menerus mengelus ubun-ubun ibu sambil membisik-bisikan kata sabar.
Ah! Mata ibu terus berair mata. Tangisnya yang sesenggukan mulai reda. Namun ibu tetap diam. Matanya tidak pernah berkedip. Aku tahu ibu terus menangis dalam hatinya. Betapa tidak, Bram yang sangat ia sayangi; Bram yang sangat memanjakan ibu; Bram yang…
Kulayangkan tatapanku ke ayah. Aku hampir tidak mengenali tatapan itu: liar dan kosong.[1]
[1] Cerpen ini dimuat dalam Medan Bisnis (Minggu, 21 Oktober 2007).
Sejak tadi ibu mencemaskan adikku yang tak kunjung pulang. Semakin deras hujan, ibu semakin kalut.
“Sudahlah Bu! Bram itu sudah besar. Dia pasti baik-baik saja,” bujukku agar ibu tidak lagi mencemaskan Bram.
“Tapi Pras, kali ini perasaan ibu waswas sekali. Ibu takut Bram kenapa-kenapa di jalan. Lagian Bram selalu duluan tiba di rumah daripada kamu.”
“Iya, Bu! Tapi bisa saja Bram terjebak hujan.”
“Ndak mungkin Pras! Bram pasti telepon kalau dia pulang telat. Tapi kali ini…”
“Sudahlah, Bu! Bram sudah besar. Pasti dia bisa menjaga dirinya sendiri.”
Namun, ibu masih saja kukuh untuk menunggu adikku yang paling bontot, Bram yang selama ini menjadi curahan kasih ibuku. Mungkin karena rentang umur kami yang memang jauh. Ketika aku kuliah, Bram baru akan duduk di kelas empat. Untungnya, Bram tahu bagaimana harus bersikap ketika curahan kasih ibuku yang berlimpah itu dihidangkan padanya. Bram tahu bagaimana harus menyenangi hati ibu. Bram tahu bagaimana perasaan ibu. Sehingga Bram berusaha keras agar dirinya tidak menyakiti perasaan ibu.
Kali ini, aku tidak habis pikir dibuat Bram. Kenapa ia belum juga memberi kabar ke rumah. Lalu, perasaan waswas ibu menular juga padaku.
“Pras! Cepat telepon ayahmu! Suruh ia pulang sekarang juga!”
Dari pintu depan, ibu berteriak berusaha mengalahkan deru hujan.
“Iya, Bu!”
Setelah itu, aku menghubungi kantor ayah. Karena rapat, ayah tidak bisa langsung pulang. Sekitar satu setengah jam lagi ayah berjanji akan sampai di rumah (itu pun sudah dengan usaha ayah untuk minta izin). Hal ini kusampaikan kepada ibu.
“Bu, ayah lagi sibuk di kantor. Satu setengah jam lagi baru pulang.”
Ibu sepertinya tidak menggubrisku. Matanya menerawang jauh. Aku melihat nada getir dalam tatapan kosongnya.
Lama aku dan ibu terdiam. Kemudian: “Pras… Apa mungkin adikmu itu kecelakaan…”
“Bu! Bram pasti bisa menjaga dirinya…”
“Tapi Pras, hati ibu janggal. Ada yang tidak klop. Biasanya Bram sudah mandi dan wangi. Tapi—kali ini, Bram masih saja belum kelihatan.”
Di luar kilat bergemuruh dengan dashyat. Hatiku semakin gundah. Aku takut perasaan ibu menjadi kenyataan. Aku takut! Biasanya firasat ibu akan menjawab kegundahan hati. Namun kali ini, aku tidak berani membenarkan firasat ibu. Sadarkah ibu bahwa doa untuk kesialan anaknya lebih manjur ketimbang doa untuk keselamatan anaknya? Aku harap ibu sadar akan hal itu.
Bram tumbuh dengan banyak talenta. Bila malam menjelang ia akan bercerita tentang keseharian yang dilaluinya. Kemudian seisi rumah akan menjadi gaduh karena cerita yang didongengkannya. Kalau ia sedang berat mulut, Bram akan mampir ke dapur untuk membantu ibu. Ketika ayah tiba, Bram dengan sigap akan memijat pundak ayah. Setelah itu, ayah baru akan mandi. Bila pagi menjelang, ia sibuk di taman. Entah memberi makan ikan koi ayah atau menata kembali bunga-bungaan ibu. Dari pagi saja Bram telah sibuk. Kadang aku malu pada adikku ini. Karena saat pagi menjelang aku masih berleha-leha ditemani dengan mimpi yang tak tentu arah atau pun menghabiskan pagi untuk bersantai-santai dengan buku-bukuku. Terkadang, ibu akan datang menegurku dan memerintahkan aku untuk keluar kamar.
Bram juga jago menulis. Tulisannya tersebar di koran-koran dan tertempel di mading sekolah. Ia jago bercerita. Kalau ia sudah mulai bercerita, semua orang yang mendengar ceritanya seperti tersihir. Mereka tidak akan beranjak sebelum Bram selesai bercerita. Bram akan membangun suasana yang begitu pas dengan ceritanya. Kemudian mencari jalan untuk mengakhiri sehingga terdengar klop dan tidak dibuat-buat. Bram juga membuat suasana ceritanya bertambah hidup. Kadang, bila Bram sedang pergi ke luar kota untuk tugas atau menginap di rumah temannya, seisi rumah seperti kuburan.
Namun, sebanyak apa pun talenta yang tumbuh dalam dirinya, aku tidak habis pikir kenapa kali ini Bram belum juga memberi kabar ke rumah. Ia selalu menjadi yang pertama ada di rumah setelah ibu. Kalau dia tidak langsung pulang, terlebih dahulu ia akan memberi kabar ke rumah. Kadang aku merasa Bram ini terlalu manja dengan ibuku. Pernah sekali aku mendengar selentingan dari teman-temannya: “Bram itu anak mami ya?!”
Jujur hal ini tak bisa kuelakkan. Ia memang sangat patuh sekali pada ibu. Bila ibu mengatakan tidak pada teman wanitanya, keesokan harinya teman wanita tidak akan datang lagi. Aku merasa aneh pada diri Bram. Ia seperti kehilangan dirinya. Sepertinya dirinya adalah bagian dari ibu. Ia memang tumbuh dengan banyak talenta.
Namun ia tidak tumbuh menjadi dirinya.
Ketika pintu rumah digedor orang, ibu dengan tergopoh-gopoh berlari membukakannya. Ia sangat berharap sekali yang mengedor itu adalah Bram, anak kesayangannya. Namun, ia bukan Bram.
“Pras, ada tamu.”
Aku beranjak dari tempatku.
“Siapa, Bu?”
“Polisi.”
Sontak jantungku langsung berdebar keras. Tanganku mulai gemetaran. Lidahku mulai terasa kelu.
“Polisi, Bu?”
“Iya, Pras.”
Nada suara ibu terdengar pasrah.
Ya, memang polisilah yang menggedor pintu rumah kami. Dengan jas hujannya yang putih, ia bertamu. Ibu mempersilakan polisi itu duduk. Namun polisi itu menolak.
Polisi itu membuka suara, “Apa benar ini rumah keluarga Bram Wijaya?”
Ibu dan aku hanya bisa menganggukan kepala (anggukanku lemah sekali).
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Aku segera menyongsong dan membuka pintu. Kemudian, ayah masuk. Sambil membuka sepatunya ayah berkata: “Ada tamu rupanya.”
Ayah menyalami polisi tersebut. Kali ini giliran ayah mempersilakan polisi itu duduk. Polisi itu tetap menolak. Ia kelihatan sangat terburu-buru.
Setelah batuk beberapa kali, polisi itu kembali berbicara, “Maaf, kedatangan saya mengganggu keluarga Anda.”
“Oh, tidak-tidak. Kami malah senang pamong praja seperti Anda mau mampir ke rumah kami,” ayah berbasa basi. Untunglah ayah pulang. Kalau tidak entah bagaimana aku harus membuka suara.
“Pras tanya bapakmu, untuk apa polisi itu datang. Perasaan itu tambah ndak enak saja,” bisik ibu ke telingaku. Seperti mendengar bisikan ibuku, polisi itu langsung angkat suara: “Saya kemari ingin memberi tahu hal yang menurut saya penting,” ia berhenti sejenak, “anak Anda mengalami kecelakaan. Bis yang ia tumpangi terseret oleh truk kontainer dan amblas ke kali…..”
Polisi itu diam seakan memberi kami kesempatan untuk berduka. Aku takut ibu akan pingsan. Namun ibu tak kunjung juga terkulai lemas ke lantai. Ibu malah menangis. Tangis ibu sumbang dan tawar.
Polisi itu telah pamit sejam yang lalu. Tinggal aku, ayah, dan ibu. Ibu masih saja menangis. Ayah yang berada di sisinya terus-menerus mengelus ubun-ubun ibu sambil membisik-bisikan kata sabar.
Ah! Mata ibu terus berair mata. Tangisnya yang sesenggukan mulai reda. Namun ibu tetap diam. Matanya tidak pernah berkedip. Aku tahu ibu terus menangis dalam hatinya. Betapa tidak, Bram yang sangat ia sayangi; Bram yang sangat memanjakan ibu; Bram yang…
Kulayangkan tatapanku ke ayah. Aku hampir tidak mengenali tatapan itu: liar dan kosong.[1]
diselesaikan
Medan, 12 Oktober 2007, Jumat
Erianto Ongko
Medan, 12 Oktober 2007, Jumat
Erianto Ongko
[1] Cerpen ini dimuat dalam Medan Bisnis (Minggu, 21 Oktober 2007).
No comments:
Post a Comment