Wednesday, December 29, 2010

Resensi Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas


Membaca menuntut imajinasi liar demi merealisasikan kata-kata ambigu yang dirangkai penulis. Entah fiksi maupun nyata, mata batin semakin nyata menambah esensi membaca itu sendiri. Demikianlah yang terjadi ketika saya melahap dwilogi Padang Bulan kreasi Andrea Hirata, penulis novel fenomenal Laskar Pelangi. Secara pribadi, asumsi setelah menelanjangi dwilogi ini―Padang Bulan maupun Cinta Di Dalam Gelas―adalah detak petualangan Ikal menemukan cinta pertamanya, A Ling yang disebut-sebut dalam Laskar Pelangi berlanjut pada dwilogi ini. Masih pendapat saya, mengapa Andrea memilih Maryamah Karpov sebagai judul terakhir tetraloginya berhubungan erat dengan perjuangan Enong yang menjadi penyegaran kisah Andrea.

Awalnya, saya menuntut cerita baru dengan suasana lain. Tapi Andrea kembali menghadirkan sosok Belitong dalam dwilogi ini. Sebagai pembuka, Andrea mengisahkan kehilangan figur ayah sekaligus suami yang harus dialami Enong dan Syalimah melalui kepergian Zamzani. Hal itu memang tragedi abadi bagi penambang timah di Belitong: tertimbun dalam tugas. Enong terpaksa berpisah dengan bangku sekolahnya, kontras dengan minat yang disulut Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata pemberian ayahnya. Semua itu kandas sebab dirinya kini harus menjadi penopang keluarga. Berbekal tekad baja, ia pun merantau ke Tanjong Pandan dan mengais pekerjaan di sana. Apa daya sosok kecilnya telah mengenalkannya pada penolakan majikan-majikan di Tanjong Pandan. Ia pun pasrah mencoret penjaga toko maupun tukang cuci dari kehidupannya.

Lalu kisah bergulir dengan usaha Enong mendulang timah, suatu pekerjaan kuli mentah. Ia tak harus bergincu ataupun berbadan besar. Tetapi jemari halusnya harus belajar menggenggam gagang pacul dan mendulang lumpur menjadi timah, berjemur menantang mentari di balik jilbabnya. Enong, pendulang perempuan pertama dalam sejarah penambangan timah dan usianya tak lebih dari 14 tahun.
Mozaik Bunga Serodja mengisahkan mimpi buruk Enong saat mendulang di danau. Malam itu mencekam dan harus ia lalui dengan pengejaran membabi-buta dari anjing-anjing milik Overste Djemalam. Ketakutannya akan salak anjing mewarnai hidupnya setelah itu. Namun, falsafah sacrifice, honesty, and freedom mewarnai langkah yang ia rajut. Getir telah mengasah Enong menjadi intan di tumpukan lumpur timah hitam. Perjuangan hidup Enong dikisahkan dengan begitu apik oleh Andrea. Saya sempat tertawa atas kebodohan tokoh kreasi Andrea. Tak pelak, hati pun membara penuh haru melukiskan lembar demi lembar dwilogi ini pada imajinasi saya.

Andrea tidak membiarkan dwilogi ini berarus tunggal. Mozaik demi mozaik menceritakan sisi yang berbeda. Perjuangan Enong dibaurkan dengan pengejaran Ikal yang semakin nonsens. Bagaimana tidak Ikal kini harus bersaing pada pemilik toko berkelas―Zinar―sampai-sampai rencana hidup serta mencari kerja di Jakarta ia kandaskan sebagai penjaga warung kopi milik pamannya. Segala ilmu yang didapat sirna oleh cemburu dalam cintanya. Ikal hampir meregang nyawa karena termakan jalur cepat peninggi badan.

 Uniknya, hal itu diramu secara menarik oleh Andrea. Ia pertemukan sudut-sudut ganjil kemanusiaan. Liriklah bagaimana ia menilai kepribadian orang-orang dari cara mereka meminum kopi dalam buku kedua Cinta di Dalam Gelas. Masih dalam konteks yang sama, Andrea pun menuturkan perjuangan Enong yang dibantu oleh pecatur kelas dunia Ninocha Stronovsky untuk mengalah mantan suaminya―Matarom. Segala ketidakmungkinan menjadi nyata berkat bantuan Ikal dan Detektif M. Nur beserta Jose Rizal dalam rangkaian spionase. Di buku ini juga saya melihat asal muasal judul tertralogi terakhir Andrea: Maryamah Karpov. Enonglah Maryamah Karpov itu!

Enong mematikan dalil kuno kekuasaan lelaki pada permainan catur, menghasut pria-pria untuk mengkhianati sesama mereka, mematahkan keculasan suaminya, dan membuktikan bahwa dengan kemauan keras untuk belajar, Enong mampu menguasai permainan dalam waktu yang tidak mungkin. Ia telah menemukan pola permainannya sendiri.

Dwilogi ini merupakan refleksi diri serta inspirasi bagi mereka yang melahapnya. Sayangnya di balik penuturan Andrea, kita akan menemukan sejauh mana kita akan berani melangkah melawan ketidakpastian. Bercermin pada diri Enong atau merepresentasikan tokoh lainnya.



Data Teknis Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Judul Buku
Padang Bulan, Cinta di Dalam Gelas

Jumlah Buku
dua buku dijadikan satu

Tebal
Padang Bulan : 254 halaman
Cinta di Dalam Gelas : 270 halaman
 

Pengarang 
Andrea Hirata

Penerbit
Bentang Pustaka

Tahun Terbit
Juni 2010

No comments:

Post a Comment