Tuesday, December 28, 2010

Konspirasi Cinta (sebuah cerpen)

Ketika malam menjelang, desir itu kembali menghantamku, sayang! Aku kewalahan menangkapinya dengan jalaku yang telah layu. Desir cinta yang kauterbangkan bersama tiupan marah angin petang. Aku tangkapi itu dengan jalaku yang layu, tapi tak penuh. Sayang, apa yang lebih kau tahu bahwa abang hanyalah penjaring sepi yang selalu tegak menunggui engkau berkisah dan bernyanyi bagaimana ikhwal cinta kita berikrar. Abang hanya ingat bagaimana pelaminan yang kita tingkahi itu hanyalah jejak semu yang tiada putus dengan bayang sunyi—bayang kematian. Abang hanya ingat bagaimana hari itu mertua abang—ayah dan ibumu—kandas dalam tangis dan menendangmu keluar dari untaian darah dagingnya. Abang hanya ingat ketika datang pesuruh yang tergopoh-gopoh menunda ikrar cinta kita dan mengantarkan sepucuk surat.



Sayang, tahukah kau apa isinya? Abang pun bertanya pada penghulu dan penghulu itu hanya menganggukkan kepala. Sayang, tahukah engkau ketika abang membuka dan membaca surat itu, hati abang seperti diredam oleh rentetan jarum panas. Ya, rentetan jarum yang datang dari keluarga abang—rentetan sumpah serapah mengutuki jodoh abang yang tak sederajat, mengutuki abang yang tak tahu adat, mengutukimu!

Tapi itu tak mengapa sayang. Abang ingin belajar untuk hidup hanya dari cinta. Mengarungi badai dengan merapatkan diri pada belahan dadamu yang segar. Tahukah engkau, abang tak pernah gentar bila engkau menemani di sisi abang—walau engkau hanya bisa tersenyum ketika abang suguhkan aroma pedasnya malam dan belum lagi daftar yang abang susun untuk rencana awal kita—anak kita tak boleh kurang dari sepuluh, rumah kita harus berkalang tanah, berdinding angin, dan beratap langit hitam.

Abang ingin engkau juga dapat seperti abang. Melayari hidup hanya dengan cinta. Biar keluarga kita menorehkan dan menumpahkan pada wajah kita aroma durhaka, biar sayang! Dada abang masih terlalu lapang untukmu seorang. Undang masalah itu! Kita tunjukkan pada mereka siapa kita ini! Kita tunjukkan! Sayang, abang ingin kau benar-benar hidup hanya dengan mereguk cinta. Jangan dengar apa kata orang. Jangan! Mereka hanya akan menjatuhkan harga dirimu dan itu berarti harga diri abang juga. Jangan pernah dengarkan mereka. Mereka di luar dunia kita. Kita yang punya dunia ini! Mereka hanya kontrak pada kita dan surat perjanjian itu terkubur rapat dalam buku dosa pelanggar cinta. Ingat itu, sayangku! Abang akan mengajarkan jutaan kata romantis padamu agar engkau tahu bagaimana kita dapat makan darinya. Akan abang susun milyaran bintang di langit itu menjadi pakaian yang melilit tubuhmu yang sintal. Akan abang runtuhkan Jupiter yang sombong itu menjadi tanah tempat kita berpijak! Akan abang satukan jalan ke Roma agar engkau dapat melihat menara miring yang menghebohkan itu. Akan abang matikan matahari bila panas terasa menyengat bagi dirimu…

Sayang, jangan khawatirkan orang tuamu yang kolot itu. Jadilah seperti abang: masa bodoh dan jalani saja hidup kita dengan cinta—ya dengan cinta, bukan dengan khawatir, kecewa, dan takut akan derita. Biar mereka menuliskan ribuan artikel yang mengecam perkawinan campur, biar mereka melancarkan siaran-siaran amarah ke udara yang kita hirup. Biar sayang, karena akan abang tiupkan napas cinta ke hidungmu yang indah itu. Biar mereka menyewa malaikat-malaikat maut untuk turut mengutuki kita. Biar! Akan abang kalahkan malaikat-malaikat itu dengan cinta abang! Ya, jangan engkau pernah takut pada mereka sayang.

Ketika engkau menemukan kebuntuan masalahmu, dekaplah dada abang yang bidang. Dada abang akan menampung air matamu. Dada abang siap menjadi kirbatmu. Kirbat yang lebih luas dari samudera dan lebih dalam dari palung mana pun! Dada abang tidak terlalu sempit hanya untuk menampung keluh kesahmu! Abang telah belajar dari cinta bagaimana menggunakan dada ini hanya untukmu! Rengkuhlah dada abang ketika engkau mendapati benci dan dusta dari dunia! Rengkuh saja, walau air mata yang kau keluarkan hanyalah sebagian dari nestapa yang akan kita lewati.

Tangismu seperti penyesalan untuk hari-hari yang mesti kita lewati. Menangis ketika masalah baru saja akan datang menghantam. Mencari-cari alasan untuk meragukan bagaimana kita dapat hidup hanya dengan cinta. Alasan itu—yang berakhir pada konspirasi. Masih ingatkah engkau bahwa cinta tak pernah berkonspirasi?! Ya, Konspirasi?! Cinta dengan konspirasi hanya akan membuatmu kering—ragu akan cinta itu sendiri yang akan membakar hasrat ingin hidupmu! Ragu itu seperti duri mawar menorehkan luka pada bait-bait cinta yang kurangkai hanya untukmu. Perlahan-lahan ia akan memerahkan semua langit siang, menerjangkan semua kecewa dalam senyuman pengantin baru, membantai merpati-merpati yang sedang merajut cinta, membekukan api—dan itu atas dasar konspirasi cinta yang engkau dengar dari lidah-lidah tak bertulang itu!

Ya! Cinta tak pernah berkonspirasi. Walau derita malam membakar jiwa dan raga, cinta harus teguh! Masih ingatkah engkau pada untaian makna dan kata dalam buku serta lukisan tentang bahaya konspirasi cinta? Masihkah engkau ingat akan hal itu? Konspirasi dan perdebatan hanya akan menambah keraguanmu untuk percaya bahwa hidup bisa hanya dengan cinta…

Tahukah engkau sudah berapa kisah cinta dibukukan dan di sana cinta mereka gagal hanya dengan konspirasi. Abang telah menghitung kisah itu. Tahukah engkau: bintang di langit yang tak terhitung itu kalah banyaknya dengan kisah gagalnya cinta karena konspirasi.

Sayang, cinta abang selalu penuh untukmu. Tapi malam tak pernah bulat ketika cinta membuatmu getir. Ketika engkau datang dengan linangan air mata yang menutupi aurat cantikmu, gemuruh dan ombak yang pecah di dasar samudera itu mendera abang. Kau tahu sayang, abang karam malam itu juga! Abang mengutuki kenapa engkau selalu ragu akan cinta abang. Abang tahu dan sadar: abang tak bisa mengajarimu cinta lagi karena konspirasi telah menodai ranjang kita…[1]





Medan, 12 Mei 2008, Senin

Erianto Ongko



[1] Dimuat di Xpresi

No comments:

Post a Comment