Malam masih kelam dengan segala bimbangnya. Awan menggantung rendah meniupkan resah ke sela ranting kering. Angin mati. Anjing tak berani bernyanyi. Jangkrik lenyap. Bulan setengah namun itu hanya sebentar penampakannya. Gersang menutupinya. Penuh dengan dosa dan hitam zaman.
Di kejauhan sinar lampu menusuki gelap, berusaha menutupi bayangan hitam mereka dengan aroma hangat. Ada bayang panjang melekat pada aspal. Serupa manusia.
“Tolong, bukakan pintu bagi saya! Anak saya sakit keras!”
Abah mengepalkan tangannya yang penuh sisa-sisa luka. Hampir saja ia tendang pintu itu agar terpental ke belakang. Tapi ia sadar, malam sudah sangat larut. Juga itu bukan hal yang sopan. Abah lanjut berteriak sambil meminta tolong pada dokter yang lelap dalam mimpi. “Dokter, dokter, dokter! Anak saya sakit keras! Demamnya tinggi! Dokter…” Air matanya melelehkan tangis. “Dokter… dokter…”
Namun pintu itu tak kunjung juga terkuak. Abah lari ke pintu lain. Ia lanjut meneriaki pintu-pintu yang beku. Tak satu pun menjawab. Semua bisu. Mematung seperti malam dengan dinginnya. Tak satu pun menghiraukan rintihan tangis—ratap demi anaknya yang sakit.
Abah lari menuju rumahnya. Sesampainya ia, anaknya terbaring lemas. Mata anaknya liar bergerak. Ada nada kasihan dalam mata itu. Keringat sudah berapa ember membasahi tubuh yang telah dua minggu tidak mandi itu. Abah miris melihat anaknya. Ia kira hanya demam biasa. Namun tidak dinyana demam itu bertambah parah. Selama ini Abah hanya memberi panadol untuk menurunkan demam. Itu pun hanya setengah dari dosis. Bagaimana lagi, puskesmas sudah ia coba. Namun mantri hanya bisa bilang: “Anakmu harus segera ke rumah sakit… Tidak bisa tidak…”
Abah lemas ketika mendengar anaknya harus rawat inap di rumah sakit. Uang dari mana? Merampok? Mencuri? Ia takut dosa. Takut sekali. Serendah-rendahnya ia akan mengemis bila perlu. Uang memulungnya mana cukup untuk biaya rawat inap. Pinjam dari lintah darat, ia takut terbelit utang. Abah juga tidak suka mengutang. Ia takut tak sanggup membayarnya—dan itu juga dosa. Mengadu ke kelurahan atau petinggi lain, sama saja dengan menjaring angin.
Terpaksa: anak semata wayangnya itu hanya bisa ia baringkan pada tikar di pondok bambunya. Tiap hari, setelah Abah siap mencari kardus, plastik, kaleng, dan barang bekas lainnya, ia pergi membeli makanan dan panadol. Ia harap anaknya bisa cepat sembuh dengan makan dan minum obat. Ia harap anaknya bisa kembali bermain bersama dedaunan kering. Menimbuni bumi dengan canda. Ia rindu saat-saat anaknya berlari untuk menciumi wajahnya.
Namun, demam anaknya tak kunjung sembuh. Malah bercak-bercak merah mulai merayapi tubuh anaknya. Abah sudah bertanya ke sana-sini mengenai penyakit aneh anaknya. Tidak satu pun yang tahu. Mereka hanya bisa bilang: “Bawa saja anakmu ke rumah sakit. Pasti beres…” Masih terngiang di telinganya anjuran itu. Ia tak sanggup.
Anaknya yang terbaring lemah dengan wajah terperih bukan main mendesahkan sakit ke telinga Abah. Ia benci desah anaknya itu. Setiap ia dengar itu, Abah merasa gagal menjadi bapak. Ia tak bisa lindungi anaknya. Ia tak jaga kesehatan anak. Ia langsung merasa paling gagal di dunia ini. Ketika ia lihat gurat kematian hampir mendekap anaknya, ia meraung-raung. Ajaib, anaknya kemudian lelap dalam tidur. Tidak ada napas yang tertahan-tahan, tak ada erangan maut. Tak ada!
Kali ini anaknya kembali mengulah. Butir-butir keringat bertaburan di wajahnya. Pertama butiran itu sedikit, lama-lama keringat itu tak berhenti mengalir. Anaknya juga tak henti berteriak kesakitan. Abah panik. Ia berlari ke luar dan masuk kembali. Gusar, akhirnya ia papah anaknya. Ia lalu berlari menerobos kelam. Dengan sisa-sisa tenaganya ia melaju ke rumah sakit. Ia tak lagi peduli dengan biayanya. Ia ingin anak semata wayangnya sembuh. Ia rindu tawa anaknya. Bagaimana ia bisa melewati malam-malam terkutuk bila tak ada lagi yang menemani. Ia takut kehilangan anaknya. Sangat takut.
Rumah sakit menjulang dengan megahnya. Lampu-lampu iklan menerangi malam dengan bujuk-rayu. Abah terlihat lelah memapah anak semata wayangnya. Napasnya hampir putus. Kemudian, ia lanjut melaju berusaha masuk. Di pintu Abah dicekal. Ia ditanyai banyak hal oleh satpam. Dengan geram ia menjawab. Ia tak habis pikir: anaknya sudah di ujung kehidupan masih saja dipersulit untuk mendapat uluran malaikat. Ia sangat heran ketika tawa satpam itu begitu mengejeknya. Seakan-akan tawa itu mengatakan: “Anakmu sudah mati. Tak mungkin ditolong lagi.” Abah ingin menjatuhkan satpam-satpam itu ke ubin. Ingin ia lumat kepala mereka sampai tak berbentuk. Tapi semua itu urung ia lakukan. Ia langsung mengelus dada. Menanti dengan sabar kapan semua cercaan demi cekalan akan usai. Akhirnya karena kasihan dan malas berurusan dengan Abah, satpam-satpam terkutuk itu membiarkan Abah lewat. Anaknya masih dalam papahannya, tertidur dan mengigaukan Abah. Abah tambah gentar mendengar igauan itu. Ia jadi ingat bagaimana istrinya dulu juga (ketika sakit parah) mengigaukan Abah.
Abah lari mencari orang yang dapat membantunya. Ia mencari dokter yang hebat pakaiannya dengan berkalung stetoskop. Ia coba temukan suster yang bertopi putih. Ketika menemukan salah satu di antaranya, Abah menarik mereka dan menunjukkan kondisi anak semata wayangnya. Namun, mereka menghindar. Mereka langsung berkata: “Akan saya panggilkan dokter yang ahli dalam penyakit ini….”
Setelah itu mereka akan bermain drama kucing-kucingan dengan Abah. Abah menunggu dengan sabar. Ketika ia lihat anaknya meronta, ia tersuruk-suruk menarik seorang dokter. Dokter itu meronta minta dilepaskan. Abah tak biarkan dokter itu lari. Ia perlihatkan kondisi anaknya. Ajaib, sang dokter langsung tertarik. Abah lega.
Dokter itu membuka aksi. Diraba dada anak Abah. Mencari doa kehidupan. Aneh… Sudah sangat pelan. Dicarinya jejak napas yang kuat. Tak urung juga.
Di pinggir taman kota, Abah dengan segala ratapan malam mengkhayalkan senyuman anaknya. Tawa yang berderai. Kaki kecil yang lari dengan mentari.
Malam penuh dengan goretan kematian.
Aroma darah berpesta.[1][2]
[1]Puisi Abah pernah dimuat di Medan Bisnis, Minggu, 9 September 2007. Isinya :
[2] Cerpen ini dimuat di Xpresi edisi ke 57 | Desember 2010
Di kejauhan sinar lampu menusuki gelap, berusaha menutupi bayangan hitam mereka dengan aroma hangat. Ada bayang panjang melekat pada aspal. Serupa manusia.
“Tolong, bukakan pintu bagi saya! Anak saya sakit keras!”
Abah mengepalkan tangannya yang penuh sisa-sisa luka. Hampir saja ia tendang pintu itu agar terpental ke belakang. Tapi ia sadar, malam sudah sangat larut. Juga itu bukan hal yang sopan. Abah lanjut berteriak sambil meminta tolong pada dokter yang lelap dalam mimpi. “Dokter, dokter, dokter! Anak saya sakit keras! Demamnya tinggi! Dokter…” Air matanya melelehkan tangis. “Dokter… dokter…”
Namun pintu itu tak kunjung juga terkuak. Abah lari ke pintu lain. Ia lanjut meneriaki pintu-pintu yang beku. Tak satu pun menjawab. Semua bisu. Mematung seperti malam dengan dinginnya. Tak satu pun menghiraukan rintihan tangis—ratap demi anaknya yang sakit.
Abah lari menuju rumahnya. Sesampainya ia, anaknya terbaring lemas. Mata anaknya liar bergerak. Ada nada kasihan dalam mata itu. Keringat sudah berapa ember membasahi tubuh yang telah dua minggu tidak mandi itu. Abah miris melihat anaknya. Ia kira hanya demam biasa. Namun tidak dinyana demam itu bertambah parah. Selama ini Abah hanya memberi panadol untuk menurunkan demam. Itu pun hanya setengah dari dosis. Bagaimana lagi, puskesmas sudah ia coba. Namun mantri hanya bisa bilang: “Anakmu harus segera ke rumah sakit… Tidak bisa tidak…”
Abah lemas ketika mendengar anaknya harus rawat inap di rumah sakit. Uang dari mana? Merampok? Mencuri? Ia takut dosa. Takut sekali. Serendah-rendahnya ia akan mengemis bila perlu. Uang memulungnya mana cukup untuk biaya rawat inap. Pinjam dari lintah darat, ia takut terbelit utang. Abah juga tidak suka mengutang. Ia takut tak sanggup membayarnya—dan itu juga dosa. Mengadu ke kelurahan atau petinggi lain, sama saja dengan menjaring angin.
Terpaksa: anak semata wayangnya itu hanya bisa ia baringkan pada tikar di pondok bambunya. Tiap hari, setelah Abah siap mencari kardus, plastik, kaleng, dan barang bekas lainnya, ia pergi membeli makanan dan panadol. Ia harap anaknya bisa cepat sembuh dengan makan dan minum obat. Ia harap anaknya bisa kembali bermain bersama dedaunan kering. Menimbuni bumi dengan canda. Ia rindu saat-saat anaknya berlari untuk menciumi wajahnya.
Namun, demam anaknya tak kunjung sembuh. Malah bercak-bercak merah mulai merayapi tubuh anaknya. Abah sudah bertanya ke sana-sini mengenai penyakit aneh anaknya. Tidak satu pun yang tahu. Mereka hanya bisa bilang: “Bawa saja anakmu ke rumah sakit. Pasti beres…” Masih terngiang di telinganya anjuran itu. Ia tak sanggup.
Anaknya yang terbaring lemah dengan wajah terperih bukan main mendesahkan sakit ke telinga Abah. Ia benci desah anaknya itu. Setiap ia dengar itu, Abah merasa gagal menjadi bapak. Ia tak bisa lindungi anaknya. Ia tak jaga kesehatan anak. Ia langsung merasa paling gagal di dunia ini. Ketika ia lihat gurat kematian hampir mendekap anaknya, ia meraung-raung. Ajaib, anaknya kemudian lelap dalam tidur. Tidak ada napas yang tertahan-tahan, tak ada erangan maut. Tak ada!
Kali ini anaknya kembali mengulah. Butir-butir keringat bertaburan di wajahnya. Pertama butiran itu sedikit, lama-lama keringat itu tak berhenti mengalir. Anaknya juga tak henti berteriak kesakitan. Abah panik. Ia berlari ke luar dan masuk kembali. Gusar, akhirnya ia papah anaknya. Ia lalu berlari menerobos kelam. Dengan sisa-sisa tenaganya ia melaju ke rumah sakit. Ia tak lagi peduli dengan biayanya. Ia ingin anak semata wayangnya sembuh. Ia rindu tawa anaknya. Bagaimana ia bisa melewati malam-malam terkutuk bila tak ada lagi yang menemani. Ia takut kehilangan anaknya. Sangat takut.
* * *
Rumah sakit menjulang dengan megahnya. Lampu-lampu iklan menerangi malam dengan bujuk-rayu. Abah terlihat lelah memapah anak semata wayangnya. Napasnya hampir putus. Kemudian, ia lanjut melaju berusaha masuk. Di pintu Abah dicekal. Ia ditanyai banyak hal oleh satpam. Dengan geram ia menjawab. Ia tak habis pikir: anaknya sudah di ujung kehidupan masih saja dipersulit untuk mendapat uluran malaikat. Ia sangat heran ketika tawa satpam itu begitu mengejeknya. Seakan-akan tawa itu mengatakan: “Anakmu sudah mati. Tak mungkin ditolong lagi.” Abah ingin menjatuhkan satpam-satpam itu ke ubin. Ingin ia lumat kepala mereka sampai tak berbentuk. Tapi semua itu urung ia lakukan. Ia langsung mengelus dada. Menanti dengan sabar kapan semua cercaan demi cekalan akan usai. Akhirnya karena kasihan dan malas berurusan dengan Abah, satpam-satpam terkutuk itu membiarkan Abah lewat. Anaknya masih dalam papahannya, tertidur dan mengigaukan Abah. Abah tambah gentar mendengar igauan itu. Ia jadi ingat bagaimana istrinya dulu juga (ketika sakit parah) mengigaukan Abah.
Abah lari mencari orang yang dapat membantunya. Ia mencari dokter yang hebat pakaiannya dengan berkalung stetoskop. Ia coba temukan suster yang bertopi putih. Ketika menemukan salah satu di antaranya, Abah menarik mereka dan menunjukkan kondisi anak semata wayangnya. Namun, mereka menghindar. Mereka langsung berkata: “Akan saya panggilkan dokter yang ahli dalam penyakit ini….”
Setelah itu mereka akan bermain drama kucing-kucingan dengan Abah. Abah menunggu dengan sabar. Ketika ia lihat anaknya meronta, ia tersuruk-suruk menarik seorang dokter. Dokter itu meronta minta dilepaskan. Abah tak biarkan dokter itu lari. Ia perlihatkan kondisi anaknya. Ajaib, sang dokter langsung tertarik. Abah lega.
Dokter itu membuka aksi. Diraba dada anak Abah. Mencari doa kehidupan. Aneh… Sudah sangat pelan. Dicarinya jejak napas yang kuat. Tak urung juga.
* * *
Di pinggir taman kota, Abah dengan segala ratapan malam mengkhayalkan senyuman anaknya. Tawa yang berderai. Kaki kecil yang lari dengan mentari.
Malam penuh dengan goretan kematian.
Aroma darah berpesta.[1][2]
terinspirasi oleh puisi Abah
Medan, 10-11 April 2008
Erianto Ongko
Medan, 10-11 April 2008
Erianto Ongko
[1]Puisi Abah pernah dimuat di Medan Bisnis, Minggu, 9 September 2007. Isinya :
Abah
Gersang terantuk menghantam mimpi
Di balik pintu Abah menangisi kepergian anaknya
Di luar bilik duyunan pelayat mengiringi
Abah terlena
Jauh dari sana, istri Abah terpekur
meniduri malam dan sepi di bawah selimutnya, ia tak ingat lagi siapa
suaminya, siapa anaknya, dan siapa dirinya
Meniduri malam, istri Abah terkurung sendirian.
Betapa Abah harus sendiri, setelah istrinya lupa akan ia
kini, anaknya telah lelap
Abah kian sabar. Abah kian lalu
Abah lalu mengutuki hidupnya
[2] Cerpen ini dimuat di Xpresi edisi ke 57 | Desember 2010
No comments:
Post a Comment