Garis dan Lengkung, Sidamanik |
berisi karya-karya tinta, bekuan waktu dan cahaya, perjalanan diri, sudut jangkauan mata, serta berbagai sampah emas yang ingin diingat ketika uzur
Thursday, December 30, 2010
Secercah Harapan pada Langit
Secercah Harapan pada Langit, Atap Rumah Sutanto |
Sumpah yang Mengubah Dunia
Pernah terbersit dalam hidup untuk melabuhkan diri pada dunia kedokteran. Hal itu hanya kenangan dan bila dipikirkan kembali dapat memotivasi diri saya.
Pernah terbersit dalam hati untuk memahat kata demi kata yang terkandung dalam sumpah sakral seorang calon dokter. Hal itu menarik minat saya bertahun-tahun dan bila dihayati maknanya, sumpah tersebut telah dibekukan baik oleh saya serta dokter yang ada sekarang ini.
Pernah terbersit dalam nurani untuk menjalani sumpah tersebut. Hal itu hanya kekosongan yang kelam dan bila dicermati banyak dokter telah berdusta ketika mengucapkan sumpah tersebut.
Demikianlah sumpah ini terkubur di sini. Ya, biarkan mereka yang rindu melihat sumpah itu di sini. Sumpah suci seorang dokter: Sumpah Hipokrates (known as Hippocratic Oath).
Banjir Melanda Malam
Merajam dalam tepi-tepi hujan, berharap agar
jejak-jejak mimpi mengembara di pucuk-pucuk daun
Tepi-tepi yang bergelombang, meruntuh bersama lirik-lirik
batu. Di antara desahan bayangan sepi
Meraba-raba senyap, di tikungan ia berkelok
di tikungan lumpur dan harapan menggerus
rumbia-rumbia yang lapuk. Mengantarkan
tangisan dari pegunungan
jejak-jejak mimpi mengembara di pucuk-pucuk daun
Tepi-tepi yang bergelombang, meruntuh bersama lirik-lirik
batu. Di antara desahan bayangan sepi
Meraba-raba senyap, di tikungan ia berkelok
di tikungan lumpur dan harapan menggerus
rumbia-rumbia yang lapuk. Mengantarkan
tangisan dari pegunungan
Wednesday, December 29, 2010
Penjahit Kecil
Malam walaupun lewat
Ia tetap teguh menatap hamparan benang
Tipis-tipis menumpuk
Jarum kecil yang menusuk
Bukan hanya kain tapi kulit
Dan lengkingan hati yang
Menancap, tertiup angin malam
Ia tetap teguh menatap hamparan benang
Tipis-tipis menumpuk
Jarum kecil yang menusuk
Bukan hanya kain tapi kulit
Dan lengkingan hati yang
Menancap, tertiup angin malam
Resensi Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Membaca menuntut imajinasi liar demi merealisasikan kata-kata ambigu yang dirangkai penulis. Entah fiksi maupun nyata, mata batin semakin nyata menambah esensi membaca itu sendiri. Demikianlah yang terjadi ketika saya melahap dwilogi Padang Bulan kreasi Andrea Hirata, penulis novel fenomenal Laskar Pelangi. Secara pribadi, asumsi setelah menelanjangi dwilogi ini―Padang Bulan maupun Cinta Di Dalam Gelas―adalah detak petualangan Ikal menemukan cinta pertamanya, A Ling yang disebut-sebut dalam Laskar Pelangi berlanjut pada dwilogi ini. Masih pendapat saya, mengapa Andrea memilih Maryamah Karpov sebagai judul terakhir tetraloginya berhubungan erat dengan perjuangan Enong yang menjadi penyegaran kisah Andrea.
Awalnya, saya menuntut cerita baru dengan suasana lain. Tapi Andrea kembali menghadirkan sosok Belitong dalam dwilogi ini. Sebagai pembuka, Andrea mengisahkan kehilangan figur ayah sekaligus suami yang harus dialami Enong dan Syalimah melalui kepergian Zamzani. Hal itu memang tragedi abadi bagi penambang timah di Belitong: tertimbun dalam tugas. Enong terpaksa berpisah dengan bangku sekolahnya, kontras dengan minat yang disulut Kamus Bahasa Inggris Satu Miliar Kata pemberian ayahnya. Semua itu kandas sebab dirinya kini harus menjadi penopang keluarga. Berbekal tekad baja, ia pun merantau ke Tanjong Pandan dan mengais pekerjaan di sana. Apa daya sosok kecilnya telah mengenalkannya pada penolakan majikan-majikan di Tanjong Pandan. Ia pun pasrah mencoret penjaga toko maupun tukang cuci dari kehidupannya.
Lalu kisah bergulir dengan usaha Enong mendulang timah, suatu pekerjaan kuli mentah. Ia tak harus bergincu ataupun berbadan besar. Tetapi jemari halusnya harus belajar menggenggam gagang pacul dan mendulang lumpur menjadi timah, berjemur menantang mentari di balik jilbabnya. Enong, pendulang perempuan pertama dalam sejarah penambangan timah dan usianya tak lebih dari 14 tahun.
Mozaik Bunga Serodja mengisahkan mimpi buruk Enong saat mendulang di danau. Malam itu mencekam dan harus ia lalui dengan pengejaran membabi-buta dari anjing-anjing milik Overste Djemalam. Ketakutannya akan salak anjing mewarnai hidupnya setelah itu. Namun, falsafah sacrifice, honesty, and freedom mewarnai langkah yang ia rajut. Getir telah mengasah Enong menjadi intan di tumpukan lumpur timah hitam. Perjuangan hidup Enong dikisahkan dengan begitu apik oleh Andrea. Saya sempat tertawa atas kebodohan tokoh kreasi Andrea. Tak pelak, hati pun membara penuh haru melukiskan lembar demi lembar dwilogi ini pada imajinasi saya.
Andrea tidak membiarkan dwilogi ini berarus tunggal. Mozaik demi mozaik menceritakan sisi yang berbeda. Perjuangan Enong dibaurkan dengan pengejaran Ikal yang semakin nonsens. Bagaimana tidak Ikal kini harus bersaing pada pemilik toko berkelas―Zinar―sampai-sampai rencana hidup serta mencari kerja di Jakarta ia kandaskan sebagai penjaga warung kopi milik pamannya. Segala ilmu yang didapat sirna oleh cemburu dalam cintanya. Ikal hampir meregang nyawa karena termakan jalur cepat peninggi badan.
Uniknya, hal itu diramu secara menarik oleh Andrea. Ia pertemukan sudut-sudut ganjil kemanusiaan. Liriklah bagaimana ia menilai kepribadian orang-orang dari cara mereka meminum kopi dalam buku kedua Cinta di Dalam Gelas. Masih dalam konteks yang sama, Andrea pun menuturkan perjuangan Enong yang dibantu oleh pecatur kelas dunia Ninocha Stronovsky untuk mengalah mantan suaminya―Matarom. Segala ketidakmungkinan menjadi nyata berkat bantuan Ikal dan Detektif M. Nur beserta Jose Rizal dalam rangkaian spionase. Di buku ini juga saya melihat asal muasal judul tertralogi terakhir Andrea: Maryamah Karpov. Enonglah Maryamah Karpov itu!
Enong mematikan dalil kuno kekuasaan lelaki pada permainan catur, menghasut pria-pria untuk mengkhianati sesama mereka, mematahkan keculasan suaminya, dan membuktikan bahwa dengan kemauan keras untuk belajar, Enong mampu menguasai permainan dalam waktu yang tidak mungkin. Ia telah menemukan pola permainannya sendiri.
Dwilogi ini merupakan refleksi diri serta inspirasi bagi mereka yang melahapnya. Sayangnya di balik penuturan Andrea, kita akan menemukan sejauh mana kita akan berani melangkah melawan ketidakpastian. Bercermin pada diri Enong atau merepresentasikan tokoh lainnya.
Data Teknis Dwilogi Padang Bulan dan Cinta di Dalam Gelas
Judul Buku
Padang Bulan, Cinta di Dalam Gelas
Jumlah Buku
dua buku dijadikan satu
Tebal
Padang Bulan : 254 halaman
Cinta di Dalam Gelas : 270 halaman
Cinta di Dalam Gelas : 270 halaman
Pengarang
Andrea Hirata
Penerbit
Bentang Pustaka
Tahun Terbit
Juni 2010
Tuesday, December 28, 2010
Abah (sebuah cerpen)
Malam masih kelam dengan segala bimbangnya. Awan menggantung rendah meniupkan resah ke sela ranting kering. Angin mati. Anjing tak berani bernyanyi. Jangkrik lenyap. Bulan setengah namun itu hanya sebentar penampakannya. Gersang menutupinya. Penuh dengan dosa dan hitam zaman.
Di kejauhan sinar lampu menusuki gelap, berusaha menutupi bayangan hitam mereka dengan aroma hangat. Ada bayang panjang melekat pada aspal. Serupa manusia.
Di kejauhan sinar lampu menusuki gelap, berusaha menutupi bayangan hitam mereka dengan aroma hangat. Ada bayang panjang melekat pada aspal. Serupa manusia.
Yanti, Lastri, dan Lelaki yang Kalah Perang (sebuah cerpen)
Dari kejauhan seorang gadis melangkah tergesa-gesa. Di belakangnya, seorang pemuda mengejarnya. Malam baru akan turun ketika itu. Namun kawasan itu telah sepi. Mengenai gadis tadi ia masih memakai seragam sekolah, sedang pemuda yang mengejarnya berselimutkan jaket kulit.
“Yan, jangan seperti anak kecil!” seru pemuda yang mengejar gadis tadi. Kita namakan saja ia Hartono dan gadis itu kita sebut Yanti. Gadis yang kita sebut Yanti itu tak menggubris. Ia tetap teguh pada langkahnya. Satu tapak, dua tapak, tiga tapak…
“Yan, jangan seperti anak kecil!” seru pemuda yang mengejar gadis tadi. Kita namakan saja ia Hartono dan gadis itu kita sebut Yanti. Gadis yang kita sebut Yanti itu tak menggubris. Ia tetap teguh pada langkahnya. Satu tapak, dua tapak, tiga tapak…
Konspirasi Cinta (sebuah cerpen)
Ketika malam menjelang, desir itu kembali menghantamku, sayang! Aku kewalahan menangkapinya dengan jalaku yang telah layu. Desir cinta yang kauterbangkan bersama tiupan marah angin petang. Aku tangkapi itu dengan jalaku yang layu, tapi tak penuh. Sayang, apa yang lebih kau tahu bahwa abang hanyalah penjaring sepi yang selalu tegak menunggui engkau berkisah dan bernyanyi bagaimana ikhwal cinta kita berikrar. Abang hanya ingat bagaimana pelaminan yang kita tingkahi itu hanyalah jejak semu yang tiada putus dengan bayang sunyi—bayang kematian. Abang hanya ingat bagaimana hari itu mertua abang—ayah dan ibumu—kandas dalam tangis dan menendangmu keluar dari untaian darah dagingnya. Abang hanya ingat ketika datang pesuruh yang tergopoh-gopoh menunda ikrar cinta kita dan mengantarkan sepucuk surat.
Dalam Perjalanan Pulang (sebuah cerpen)
Pulang sekolah seperti biasa aku mesti menanti angkutan umum—yang akhir-akhir ini sangat susah untuk ditemukan. Kadang aku harus menunggu sampai sekolahku lengang. Itu pun belum tentu aku dapat menaikinya.
Setelah lama menunggu, akhirnya datanglah angkutan yang kutunggu-tunggu. Kali ini aku beruntung. Hanya supirlah yang menguasai mobil ini. Aku tidak perlu lagi bersesak-sesak dengan ibu-ibu atau pun bapak-bapak yang terkadang membuyarkan aroma badannya yang tidak sedap. Aku juga bisa lebih leluasa untuk duduk.
Subscribe to:
Posts (Atom)